Selamat datang di blog Paulinus Pandiangan. Semoga kamu menemukan sesuatu yang berguna.   Click to listen highlighted text! Selamat datang di blog Paulinus Pandiangan. Semoga kamu menemukan sesuatu yang berguna.

Notes on Courage

Have you ever stared longingly at a mountain you wanted to climb, a dream you wanted to chase, or a conversation you wanted to have, but held back by a knot of fear in your stomach? That, my friend, is the challenge of courage.

Courage isn’t the absence of fear; it’s the willingness to act in spite of it. It’s the inner strength that allows us to push past our comfort zones and reach for something bigger.

We may notice the power of courage every single day. It’s the single mother going back to school to build a better future, the shy teenager asking out their crush, or the firefighter running into a burning building. Courageous acts come in all shapes and sizes, and they all have the potential to transform our lives.

But why is courage so important?

  • Unlocking Potential: Stepping outside your comfort zone allows you to discover hidden strengths and talents. You might surprise yourself with what you’re capable of achieving.
  • Boosting Confidence: Overcoming challenges builds self-belief. Each time you face your fears, you gain confidence in your ability to handle whatever life throws your way.
  • Enhancing Well-being: Living a courageous life is a fulfilling one. It allows you to pursue your passions, connect with others on a deeper level, and experience the joy of growth.

Let’s face it, building courage isn’t easy. Here are some tips to help you become a braver version of yourself:

  • Identify Your Fears: The first step is acknowledging what holds you back. Is it public speaking? Taking risks? Write down your specific fears and unpack why they scare you.
  • Start Small: You don’t have to conquer your biggest fear overnight. Begin with manageable challenges that gradually push your boundaries. Maybe it’s striking up a conversation with someone new or joining a local club.

Here’s an example: Imagine Sarah, who dreams of starting her own bakery but fears failure. As a first step, she could enroll in a baking class to hone her skills. Then, she could participate in a local farmers market to test the waters before opening her own shop.

  • Reframe Your Thinking: Instead of viewing fear as a debilitating force, see it as a signal that you’re about to step outside your comfort zone. Challenge negative self-talk with positive affirmations. Tell yourself, “I can do this,” or “This challenge will help me grow.”

Think about this quote by Nelson Mandela:

"I learned that courage was not the absence of fear, but the triumph over it. The brave man is not he who does not feel afraid, but he who conquers that fear."
  • Celebrate Your Wins: Acknowledge your progress, no matter how small. Every time you face a fear, give yourself a mental pat on the back. Celebrating your victories reinforces the positive behaviors associated with courage.
  • Find Your Support System: Surround yourself with people who believe in you and encourage you to grow. A supportive network can be your safety net and your cheering squad as you take risks.

Remember, courage is a muscle that gets stronger with exercise. The more you practice facing your fears, the easier it becomes. Don’t wait for the “perfect” moment to be brave – courage is a journey, not a destination. Take that first step today, and watch yourself blossom into a more confident and courageous you!

Here are some inspiring stories of real-life courage:

  • Malala Yousafzai: This young Pakistani activist bravely fought for the right to education for girls, even after being shot by the Taliban.
  • Greta Thunberg: This Swedish teenager sparked a global climate change movement by standing up to world leaders despite her young age.
  • Rosa Parks: This civil rights icon refused to give up her seat on a bus, sparking the Montgomery Bus Boycott and a movement for racial equality.

These individuals, and countless others, show us the power of courage to create positive change in the world. Their stories serve as reminders that even small acts of bravery can have a ripple effect.

Courage and Fortitude

So, what are you waiting for? Take a deep breath, tap into your inner strength, and conquer your comfort zone. The world needs your unique brand of courage!

☘️ ☘️ ☘️

Other readings:

  1. 12 ways to be more courageous on WikiHow.
  2. How to be brave on BetterUp.

The Paradox of Choice

The Paradox of Choice by Barry Schwartz

The paradox of choice, popularized by psychologist Barry Schwartz in his book “The Paradox of Choice: Why More Is Less“, proposes a counterintuitive notion: having too many choices can actually be detrimental to our wellbeing and decision-making. Here’s the gist:

The Problem:

Imagine you’re buying jam. Back in the day, your local store might have offered 3-4 options. Today, you’re faced with dozens, each boasting unique flavors, ingredients, and claims. This abundance of choice might seem goodmore options to find your perfect match, right?

The Paradox:

However, studies show this abundance can backfire:

  • Analysis paralysis: With so many options, we spend more time analyzing, comparing, and doubting, leading to decision fatigue and inaction.
  • Regret and dissatisfaction: Choosing from many options increases the pressure of making the “right” decision, leading to fear of missing out (FOMO) and regret after choosing.
  • Lower satisfaction: We tend to compare our chosen option to all the “better” ones we didn’t choose, lowering our satisfaction with the actual choice.
Ali Abdaal on The Paradox of Choice

Think Maximizers vs. Satisficers:

Schwartz identifies two types of decision-makers:

  • Maximizers: Aim for the absolute “best” choice, constantly comparing and analyzing, leading to more stress and potential dissatisfaction.
  • Satisficers: Aim for a “good enough” choice that meets their needs, reducing analysis paralysis and fostering more contentment.

So, what to do?

  • Be mindful of your needs and values: Identify what truly matters in your decision, not just features or branding.
  • Set limits: Consider a smaller, curated selection of options based on your criteria.
  • Embrace satisficing: Don’t strive for the absolute perfect, aim for good enough and avoid decision fatigue.
  • Trust your gut: After research and consideration, go with your intuition and don’t dwell on what-ifs.
  • Remember, happiness is more than just choice: Focus on experiences, relationships, and personal growth for deeper fulfillment.

The paradox of choice reminds us that more isn’t always better. By making conscious choices and managing our decision-making process, we can navigate the abundance of options and find greater satisfaction in our lives.

Mark Manson on The Paradox of Choice

Maaf, Terimakasih, Senyum

Untuk menjadi pribadi yang lebih baik, saya kira ada 3 hal yang sangat patut untuk kita latih agar menjadi bagian dari karakter kita. Ketiga hal tersebutyang saya labeli dengan the big three habitsadalah masing-masing:

Ilustrasi Meminta Maaf | Sumber

Pertama, meminta maaf atas kesalahan kita. Ini adalah kebiasaan yang akan sangat membantu membuat suasana menjadi tidak tegang di saat tidak ada yang mau dianggap salah dalam sebuah situasi (semua merasa benar). Mengakui kesalahan dan memiliki niat untuk melakukan perbaikan adalah sifat yang sangat positif dan ini dimiliki orang-orang yang berkepribadian menarik.

Ilustrasi Orang Tersenyum | Sumber

Kedua, mudah tersenyum. Ini adalah kebiasaan yang akan sangat menguntungkan dua arah: orang yang tersenyum dan orang yang menerima senyuman. Tersenyum akan membuat suasana lebih akrab (friendly) dan orang akan lebih nyaman dalam berkomunikasi dengan kita. Lagipula, siapa yang tak suka dengan orang yang tersenyum? 😉

Ilustrasi Berterimakasih | Sumber

Ketiga, berterimakasih. Ini adalah kebiasaan yang sangat baik karena selalu mengapresiasi hal-hal baik yang dialami setiap hari, bahkan untuk hal-hal yang terlihat kecil dan sederhana. Berterimakasih juga akan berdampak dua arah: bagi kita yang mengungkapkan dan bagi orang yang menerima ungkapan tersebut. Orang tentu senang menerima apresiasi dalam bentuk ungkapan terimakasih, dan mengucapkan terimakasih juga akan menyuburkan rasa damai dan sukacita bagi orang yang memiliki kebiasaan berterimakasih. It’s positive in both ways.


Saya percaya bahwa ketika kita bisa mengintegrasikan ketiga kebiasaan manis ini ke dalam kepribadian kita, orang-orang yang berinteraksi dengan kita bisa merasakan kesejukan. ☺️

Salam,

Paulinus Pandiangan

7 Tips Mereduksi Stress

Agar tidak terlalu stress menghadapi hari yang sibuk, berikut ada 7 tips dari sebuah artikel blog This Evergreen Home:

Pertama, memulai hari dengan tugas yang terpenting dulu. Hindari menjawab e-mail atau scrolling HP di jam-jam awal di pagi hari, karena perhatian kita bisa teralihkan ke hal-hal yang justru tidak mendesak (atau bahkan tidak penting!). Dengan segera mengerjakan hal yang terpenting terlebih dulu, kita menciptakan momentum yang baik untuk bergerak membuat kemajuan.

Kedua, selipkan hal menarik segera setelah mengerjakan tugas penting. Hal menarik dimaksud bisa saja mandi air hangat, mengonsumsi cemilan favorit, atau menyaksikan seri TV yang kita suka, atau membaca 1 bab buku menarik yang tengah dibaca. Intinya adalah melakukan hal yang menyenangkan bagi kita secara pribadi segera setelah mengerjakan tugas penting.

Ketiga, lakukan pause antar aktivitas. Setelah menyelesaikan suatu tugas, jangan langsung beralih ke tugas atau pekerjaan berikutnya. Berikan waktu jeda bagi pikiran dan tubuh untuk melakukan relaksasi sebelum beralih ke pekerjaan berikutnya. Ini akan membuat tubuh dan pikiran kita lebih siap dan lebih berenergi untuk mengerjakan hal berikutnya. Pause sekitar 10 sampai 15 menit sudah cukup.

Keempat, rawat diri. Ini bisa dengan olahraga, makan teratur, dan tidur cukup. Kita perlu merawat diri dengan baik agar selalu bisa menghadapi berbagai tuntutan, terutama di hari-hari yang sibuk. Dengan memberikan waktu untuk cukup istirahat, makan dengan teratur dan berolahraga, tidak hanya fisik, kita juga akan lebih tangguh secara mental untuk menghadapi hari yang sibuk.

Kelima, jangan berusaha mengerjakan terlalu banyak hal di satu waktu. Mengerjakan 2 sampai 3 hal dalam sehari dengan optimal sebenarnya sudah cukup. Tidak perlu memaksa diri untuk mengerjakan, misalnya, 5 sampai 10 hal dalam to-do list. Memaksakan diri hanya akan membuat kita kelelahan secara mental dan menguras sangat banyak energi, dan hasilnya biasanya tidak optimal. Berfokuslah pada 2 sampai 3 hal yang paling penting saja, yang lain bisa menyusul di kemudian hari.

Keenam, bernafaslah dengan teratur dan perlahan. Ketika kita terburu-buru dan bernafsu ingin menyelesaikan banyak hal, kita biasanya menjadi cemas dan ritme nafas kita akan semakin cepat dan pendek-pendek. Hal ini tidak menyehatkan dalam jangka panjang. Karena itu menjadi penting bagi kita untuk mengatur pernafasan sehingga bisa lebih tenang. Kondisi fisik yang tenang akan sangat membantu pikiran kita bekerja lebih optimal juga dalam memikirkan solusi dari persoalan-persoalan yang tengah dihadapi.

Ketujuh, berfokus pada hari ini. Apabila atensi kita dipusatkan pada hari ini, kita bisa lebih tenang. Kita menjadi mudah khawatir karena pikiran kita selalu berusaha mengantisipasi apa yang di masa depan. Praktik untuk memusatkan pikiran pada saat ini menjadi penawar yang bisa mengarahkan atensi kita kembali pada hal yang tengah dikerjakan. Berfokus saja pada apa yang sedang dikerjakan saat ini.


Demikian 7 tips untuk menjaga agar kita tetap bisa tenang di hari-hari yang sibuk. Silakan membaca artikel versi lengkapnya di sini dan semoga bermanfaat! 🙂

Kebahagiaan di Dalam Diri

Kebahagiaan seringkali kita anggap akan dicapai dari hal-hal di luar diri kita, seperti pasangan yang serasi, berat badan ideal, pekerjaan impian, kota tempat tinggal yang diidamkan, dan lain sebagainya. Kita berpikir bahwa kalau kita bisa mendapatkan hal-hal ini, maka kita akan bahagia. Model IF… THEN… (Jika saya membeli mobil baru, maka saya akan bahagia. Apabila saya mendapatkan pekerjaan dengan gaji 50 juta sebulan, saya akan bahagia, dan seterusnya …)

Psikolog Kennon Sheldon dan Sonja Lyubomirsky lalu menemukan prinsip “adaptasi hedonis”, dimana ketika kita misalnya menang undian dan mendapat hadiah, kita akan merasa senang untuk beberapa saat, akan tetapi kemudian kita akan terbiasa dengan keadaan tersebut, dan level kebahagiaan kita kembali ke dasar (baseline).

Maka jelas bahwa kebahagiaan tidak diperoleh dari hal-hal di luar diri kita.

Lalu bagaimana agar kita bisa lebih bahagia, saat ini?

  • Berdamai dengan segala kekurangan diri dan izinkan diri kita untuk menjadi tak sempurna.
  • Kalau kita tak sempurna, kita juga harus memaklumi bahwa orang lain juga tak sempurna. Harus ada ruang untuk ketidaksempurnaan (room for imperfection) bagi diri kita sendiri dan juga orang lain.
  • Lepaskan ekspektasi yang berlebihan tentang bagaimana perjalanan hidup kita seharusnya. Bagaimana hidup kita berjalan adalah suatu hal yang di luar kendali kita sepenuhnya, dan ada banyak sekali faktor yang mempengaruhinya.
  • Hentikan kebiasaan berandai-andai tentang masa lalu dan masa depan. Apresiasi dan syukurilah hal-hal baik dalam hidup kita saat ini.
  • Tetap coba hal-hal baru agar hidup kita tetap terasa menarik. Proses belajar hal baru bisa menimbulkan kebahagiaan yang lebih bertahan lama.

Saya percaya bahwa kebahagiaan adalah efek samping dari pilihan-pilihan kita setiap hari dan pada prinsipnya kebahagiaan adalah hadiah (gift); sehingga mengejar kebahagiaan sebagai sebuah tujuan akhir hanya akan menjauhkan kita dari kebahagiaan itu sendiri. Agreed? 😉

Relasi Toksik. Harus Bagaimana?

Ilustrasi Relasi Toksik

Di salah satu video saya di TikTok, ada seorang yang berkomentar dan bertanya bagaimana cara keluar dari sebuah relasi yang toksik. Sebagai disclaimer, saya bukanlah seorang expert dalam relasi manusia, akan tetapi inilah beberapa hal yang berhasil saya peroleh dari riset kecil di Google, dan semoga ini bisa menjadi masukan yang baik bagi orang-orang yang sedang berada dalam relasi yang toksik.

Apa ciri orang toksik?

Toxic people will leave you feeling bad: edgy, guilty, confused, frustrated, overextended.

Mengutip dari sini.

Orang yang toksik-atau dianggap toksik-adalah orang yang berkata dan berperilaku negatif, cenderung selalu ingin mengontrol orang lain, dan kasar. Orang seperti ini bisa membuat orang lain merasa bersalah, frustrasi, dan bingung.

Apakah orang toksik bisa berubah?


Bisa, APABILA mereka sungguh menyadarinya. Orang toksik harus bisa melihat diri mereka sendiri sebagai bagian dari masalah dalam sebuah hubungan, dan dari situ mereka bisa menemukan motivasi untuk mengubah dirinya.

Apakah orang toksik tahu bahwa mereka toksik?

Bisa, JIKA mereka memiliki kecerdasan emosional (emotional intelligence) yang memadai. Orang yang mengalami masalah dengan kecerdasan emosional akan sulit menyadari bahwa mereka menjadi sumber masalah dalam sebuah hubungan. Orang yang tidak sadar ini sangat sulit untuk berubah dan sebaiknya kita membatasi pergaulan dengan mereka.

Mengapa orang tetap bertahan dalam relasi yang toksik?

Kasus Johnny Depp vs Amber Heard yang tersebar luas di media beberapa waktu lalu merupakan contoh relasi yang toksik, dimana menurut kesaksian yang terbongkar di ruang sidang, Johnny Depp memilih untuk tetap bertahan dalam relasi itu selama beberapa tahun walaupun dia menyadari bahwa hubungannya dengan Amber Heard sangat toksik, bahkan sudah mengarah pada kekerasan fisik. Apa yang membuatnya memutuskan untuk bertahan? Ternyata dia percaya bahwa hubungan itu masih bisa diperbaiki.

Itulah salah satu alasan mengapa orang masih bertahan dalam relasi yang sudah jelas-jelas toksik. Mereka (masih) meyakini bahwa hubungan itu masih bisa membaik. They believe that somehow it would work.

Alasan kedua adalah bahwa orang takut kesepian. Orang yang berada dalam relasi tersebut sangat takut menjadi kesepian apabila relasi tersebut diakhiri. Selain itu, mereka juga takut tidak akan mendapatkan pasangan lagi apabila mereka mengakhiri hubungan tersebut, walaupun toksik. Mereka akhirnya memilih untuk menderita dalam hubungan ketimbang kehilangan pasangan.

Alasan ketiga adalah bahwa salah satu pihak merasa bahwa dirinya masih bisa memperbaiki perilaku pasangannya. Dia merasa bertanggungjawab atas perilaku pasangannya yang toksik. Ini sebenarnya masih berkaitan dengan alasan pertama tadi, dimana salah satu pihak merasa bahwa hubungan yang toksik tersebut masih bisa diperbaiki. Akan tetapi yang dilupakan orang adalah bahwa memperbaiki hubungan harus atas kesadaran dan kemauan dari kedua pihak, dan membaiknya hubungan ini tidak akan terjadi kalau hanya salah satu pihak saja yang merasa bertanggungjawab.

Bagaimana menghadapi orang toksik?

Langkah pertama tentu saja dengan membicarakan langsung dengan mereka, tetapi tentu harus dengan cermat juga, karena orang toksik bisa saja bereaksi negatif saat diajak bicara. Memaparkan bahwa kita tidak suka dengan perilaku mereka dan mengharapkan mereka berperilaku lebih baik bisa menunjukkan bahwa kita memberi perhatian kepada mereka, bahwa kita menyadari bahwa mereka bisa lebih baik. Akan tetapi harus tetap berhati-hati melakukan ini karena bisa saja ditanggapi berbeda.

Hubungan yang toksik sebenarnya bisa diubah ASALKAN kedua pihak sama-sama berkomitmen memperbaiki diri melalui lebih sering komunikasi secara terbuka, saling jujur, sama-sama melakukan refleksi diri, atau bahkan dengan melakukan terapi dan mencari bantuan tenaga profesional. Perbaikan hubungan dapat dicapai secara bersama dan kedua pihak memiliki niat yang sama untuk memperbaiki hubungan.

Menjaga jarak (berjauhan) untuk sesaat juga perlu dilakukan agar kedua pihak bisa melakukan refleksi diri secara terpisah, untuk kemudian bisa melihat kekurangan diri masing-masing dan melakukan perubahan di level personal; memperbaiki kecenderungan-kecenderungan yang selama ini mengganggu dalam relasi dengan orang lain.

Akan tetapi yang dilupakan orang adalah bahwa memperbaiki hubungan harus atas kesadaran dan kemauan dari kedua pihak, dan membaiknya hubungan ini tidak akan terjadi kalau hanya salah satu pihak saja yang merasa bertanggungjawab.

Menyadari bahwa relasi yang sehat harus dibangun oleh kedua pihak bersama-sama, dan kedua pihak sebenarnya sama-sama berpeluang untuk menjadi toksik, menjadi sesuatu yang sangat fundamental. Hubungan yang toksik seringkali bukan hanya salah salah satu pihak saja, akan tetapi kedua pihak berkontribusi di dalamnya; sehingga upaya perbaikan harus didasari oleh refleksi diri yang mendalam dari kedua pihak, dan keinginan yang kuat untuk memperbaiki relasi.

Ilustrasi Hubungan Yang Sehat

Bagaimana kalau segala upaya tidak berhasil juga?

Langkah terakhir adalah memutus hubungan secara permanen. Kedua pihak harus berusaha menyembuhkan diri masing-masing dengan cara masing-masing juga. Kedua pihak harus berusaha untuk tidak terus menerus tinggal di masa lalu, dan berusaha untuk melanjutkan kehidupan tanpa kehadiran pihak kedua. Barangkali dengan menyibukkan diri dengan kegiatan bermanfaat yang sama sekali baru, belum pernah dicoba, atau dengan berusaha mendapatkan dukungan dari keluarga atau sahabat terdekat atau dari komunitas. Toh, kalau memang sudah tidak bisa diubah lagi, tak ada manfaatnya menghabiskan waktu hidup bersama dengan orang yang pada akhirnya hanya akan membawa dampak merugikan dalam hidup kita. Dan perilaku orang terhadap kita adalah sesuatu yang di luar kendali kita, bukan? 😉

Semoga bermanfaat. 🙂

Salam,

Paulinus Pandiangan

Musuh Kebahagiaan

Filsuf Epictetus pernah menuliskan begini dalam Discourses,

Kebahagiaan tak bisa berdampingan dengan keinginan akan hal-hal yang belum kita miliki. Kebahagiaan sudah cukup untuk dirinya sendiri, ia tak lagi kelaparan atau kehausan akan hal-hal yang lain.

Dalam psikologi ada istilah conditional happiness, yaitu suatu keadaan dimana kita baru merasa bahagia apabila syarat-syarat tertentu terpenuhi. Kebahagiaan bersyarat. Ini sangat umum kita temui, dan kita mungkin sudah menganut mentalitas seperti ini sejak lama. Kalimat-kalimat seperti, “Saya akan sangat senang kalau sudah lulus kuliah.”, atau “Kalau bonus saya tahun ini besar, saya akan bahagia sekali.”, merupakan bentuk ekspresi dari kebahagiaan bersyarat ini.

Dan karena konsep kebahagiaan seperti ini tak pernah benar-benar membawa kebahagiaan yang bertahan lama, bisa dipastikan bahwa model ini tak bisa menjadi pegangan yang baik. Kebahagiaan bersyarat tak akan membuat kita benar-benar bahagia.

Keinginan akut untuk selalu lebih dari saat ini, menginginkan hal-hal yang jelas-jelas tidak ada di depan mata saat ini, hanya akan membuat kita ‘buta’ pada hal yang bisa kita nikmati saat ini juga. Konsep seperti ini, kalau diibaratkan, membuat kita selalu membayangkan pantai pasir putih yang airnya lebih biru ketika kita, sebenarnya, sedang duduk santai di tepi pantai.

Dan inilah musuh kebahagiaan yang sebenarnya.

Kita perlu secara sadar berfokus pada momen saat ini, karena hanya saat inilah yang kita miliki. Masa lalu sudah lewat, dan masa depan tak lama lagi akan menjadi saat ini. Menikmati segala yang baik di saat ini menjadi pilihan yang bijaksana.

Seperti kata Epictetus tadi, kebahagiaan itu sudah cukup untuk dirinya sendiri, tak lapar dan haus akan hal-hal lain yang masih dalam imajinasi. Be content with the present. 🤗

Salam,

Paulinus Pandiangan

Interpretasi Rasional dengan STAR

It is not things that trouble us, but our judgment about things.

EPICTETUS
Podcast Audio: Interpretasi Rasional dengan STAR

Sumber masalah umum yang menimbulkan emosi negatif dalam diri kita adalah interpretasi otomatis. Inilah keyakinan para praktisi Stoikisme. Emosi-emosi negatif—seperti marah, sakit hati, kecewa—justru timbul akibat sebuah interpretasi yang instan atas sebuah peristiwa atau pengalaman. Begitu otomatisnya interpretasi ini sehingga kita sering berpikir bahwa interpretasi itu sendiri adalah sebuah fakta.

Sebuah contoh: seseorang berkomentar negatif tentang kita. Yang umum terjadi adalah kita langsung berpikir bahwa orang tersebut tidak suka kepada kita, dan lalu, timbullah emosi negatif, bisa berupa benci kepada orang tersebut, atau marah, atau kecewa. Lalu tiba-tiba emosi itu rasanya begitu mendominasi, dan kita merasa bahwa kita baru saja mengalami hari yang buruk. Akhirnya kita kurang bisa ‘melihat’ kebaikan-kebaikan lain di hari itu.

Dan siapa yang rugi? KITA sendiri.

Contoh di atas adalah interpretasi otomatis yang saya maksud. Kita seringkali tidak ‘mengolah’ persepsi kita terlebih dahulu, sampai-sampai kita tidak menyadari lagi hal mana yang merupakan fakta dan mana yang merupakan interpretasi. Dan akhirnya, yang mengganggu kita bukanlah peristiwa yang terjadi, akan tetapi interpretasi kita atas peristiwa tersebut, persis seperti quote Epictetus di atas.

Sekarang mari kita bedah contoh tadi dengan menggunakan kerangka STAR untuk menghasilkan interpretasi rasional.

LANJUTKAN MEMBACA…
Click to listen highlighted text!