Selamat datang di blog Paulinus Pandiangan. Semoga kamu menemukan sesuatu yang berguna.   Click to listen highlighted text! Selamat datang di blog Paulinus Pandiangan. Semoga kamu menemukan sesuatu yang berguna.

Relasi Toksik. Harus Bagaimana?

Ilustrasi Relasi Toksik

Di salah satu video saya di TikTok, ada seorang yang berkomentar dan bertanya bagaimana cara keluar dari sebuah relasi yang toksik. Sebagai disclaimer, saya bukanlah seorang expert dalam relasi manusia, akan tetapi inilah beberapa hal yang berhasil saya peroleh dari riset kecil di Google, dan semoga ini bisa menjadi masukan yang baik bagi orang-orang yang sedang berada dalam relasi yang toksik.

Apa ciri orang toksik?

Toxic people will leave you feeling bad: edgy, guilty, confused, frustrated, overextended.

Mengutip dari sini.

Orang yang toksik-atau dianggap toksik-adalah orang yang berkata dan berperilaku negatif, cenderung selalu ingin mengontrol orang lain, dan kasar. Orang seperti ini bisa membuat orang lain merasa bersalah, frustrasi, dan bingung.

Apakah orang toksik bisa berubah?


Bisa, APABILA mereka sungguh menyadarinya. Orang toksik harus bisa melihat diri mereka sendiri sebagai bagian dari masalah dalam sebuah hubungan, dan dari situ mereka bisa menemukan motivasi untuk mengubah dirinya.

Apakah orang toksik tahu bahwa mereka toksik?

Bisa, JIKA mereka memiliki kecerdasan emosional (emotional intelligence) yang memadai. Orang yang mengalami masalah dengan kecerdasan emosional akan sulit menyadari bahwa mereka menjadi sumber masalah dalam sebuah hubungan. Orang yang tidak sadar ini sangat sulit untuk berubah dan sebaiknya kita membatasi pergaulan dengan mereka.

Mengapa orang tetap bertahan dalam relasi yang toksik?

Kasus Johnny Depp vs Amber Heard yang tersebar luas di media beberapa waktu lalu merupakan contoh relasi yang toksik, dimana menurut kesaksian yang terbongkar di ruang sidang, Johnny Depp memilih untuk tetap bertahan dalam relasi itu selama beberapa tahun walaupun dia menyadari bahwa hubungannya dengan Amber Heard sangat toksik, bahkan sudah mengarah pada kekerasan fisik. Apa yang membuatnya memutuskan untuk bertahan? Ternyata dia percaya bahwa hubungan itu masih bisa diperbaiki.

Itulah salah satu alasan mengapa orang masih bertahan dalam relasi yang sudah jelas-jelas toksik. Mereka (masih) meyakini bahwa hubungan itu masih bisa membaik. They believe that somehow it would work.

Alasan kedua adalah bahwa orang takut kesepian. Orang yang berada dalam relasi tersebut sangat takut menjadi kesepian apabila relasi tersebut diakhiri. Selain itu, mereka juga takut tidak akan mendapatkan pasangan lagi apabila mereka mengakhiri hubungan tersebut, walaupun toksik. Mereka akhirnya memilih untuk menderita dalam hubungan ketimbang kehilangan pasangan.

Alasan ketiga adalah bahwa salah satu pihak merasa bahwa dirinya masih bisa memperbaiki perilaku pasangannya. Dia merasa bertanggungjawab atas perilaku pasangannya yang toksik. Ini sebenarnya masih berkaitan dengan alasan pertama tadi, dimana salah satu pihak merasa bahwa hubungan yang toksik tersebut masih bisa diperbaiki. Akan tetapi yang dilupakan orang adalah bahwa memperbaiki hubungan harus atas kesadaran dan kemauan dari kedua pihak, dan membaiknya hubungan ini tidak akan terjadi kalau hanya salah satu pihak saja yang merasa bertanggungjawab.

Bagaimana menghadapi orang toksik?

Langkah pertama tentu saja dengan membicarakan langsung dengan mereka, tetapi tentu harus dengan cermat juga, karena orang toksik bisa saja bereaksi negatif saat diajak bicara. Memaparkan bahwa kita tidak suka dengan perilaku mereka dan mengharapkan mereka berperilaku lebih baik bisa menunjukkan bahwa kita memberi perhatian kepada mereka, bahwa kita menyadari bahwa mereka bisa lebih baik. Akan tetapi harus tetap berhati-hati melakukan ini karena bisa saja ditanggapi berbeda.

Hubungan yang toksik sebenarnya bisa diubah ASALKAN kedua pihak sama-sama berkomitmen memperbaiki diri melalui lebih sering komunikasi secara terbuka, saling jujur, sama-sama melakukan refleksi diri, atau bahkan dengan melakukan terapi dan mencari bantuan tenaga profesional. Perbaikan hubungan dapat dicapai secara bersama dan kedua pihak memiliki niat yang sama untuk memperbaiki hubungan.

Menjaga jarak (berjauhan) untuk sesaat juga perlu dilakukan agar kedua pihak bisa melakukan refleksi diri secara terpisah, untuk kemudian bisa melihat kekurangan diri masing-masing dan melakukan perubahan di level personal; memperbaiki kecenderungan-kecenderungan yang selama ini mengganggu dalam relasi dengan orang lain.

Akan tetapi yang dilupakan orang adalah bahwa memperbaiki hubungan harus atas kesadaran dan kemauan dari kedua pihak, dan membaiknya hubungan ini tidak akan terjadi kalau hanya salah satu pihak saja yang merasa bertanggungjawab.

Menyadari bahwa relasi yang sehat harus dibangun oleh kedua pihak bersama-sama, dan kedua pihak sebenarnya sama-sama berpeluang untuk menjadi toksik, menjadi sesuatu yang sangat fundamental. Hubungan yang toksik seringkali bukan hanya salah salah satu pihak saja, akan tetapi kedua pihak berkontribusi di dalamnya; sehingga upaya perbaikan harus didasari oleh refleksi diri yang mendalam dari kedua pihak, dan keinginan yang kuat untuk memperbaiki relasi.

Ilustrasi Hubungan Yang Sehat

Bagaimana kalau segala upaya tidak berhasil juga?

Langkah terakhir adalah memutus hubungan secara permanen. Kedua pihak harus berusaha menyembuhkan diri masing-masing dengan cara masing-masing juga. Kedua pihak harus berusaha untuk tidak terus menerus tinggal di masa lalu, dan berusaha untuk melanjutkan kehidupan tanpa kehadiran pihak kedua. Barangkali dengan menyibukkan diri dengan kegiatan bermanfaat yang sama sekali baru, belum pernah dicoba, atau dengan berusaha mendapatkan dukungan dari keluarga atau sahabat terdekat atau dari komunitas. Toh, kalau memang sudah tidak bisa diubah lagi, tak ada manfaatnya menghabiskan waktu hidup bersama dengan orang yang pada akhirnya hanya akan membawa dampak merugikan dalam hidup kita. Dan perilaku orang terhadap kita adalah sesuatu yang di luar kendali kita, bukan? 😉

Semoga bermanfaat. 🙂

Salam,

Paulinus Pandiangan

Author: Paulinus Pandiangan

Saya seorang Katolik, anak ketiga dari 3 bersaudara, ayah dari tiga anak, orang Batak, saat ini bekerja di sebuah pabrik kelapa sawit di Kalimantan Tengah. Saya dilahirkan pada 8 Januari 1983. Capricorn.

Click to listen highlighted text!