It is not things that trouble us, but our judgment about things.
EPICTETUS
Sumber masalah umum yang menimbulkan emosi negatif dalam diri kita adalah interpretasi otomatis. Inilah keyakinan para praktisi Stoikisme. Emosi-emosi negatif—seperti marah, sakit hati, kecewa—justru timbul akibat sebuah interpretasi yang instan atas sebuah peristiwa atau pengalaman. Begitu otomatisnya interpretasi ini sehingga kita sering berpikir bahwa interpretasi itu sendiri adalah sebuah fakta.
Sebuah contoh: seseorang berkomentar negatif tentang kita. Yang umum terjadi adalah kita langsung berpikir bahwa orang tersebut tidak suka kepada kita, dan lalu, timbullah emosi negatif, bisa berupa benci kepada orang tersebut, atau marah, atau kecewa. Lalu tiba-tiba emosi itu rasanya begitu mendominasi, dan kita merasa bahwa kita baru saja mengalami hari yang buruk. Akhirnya kita kurang bisa ‘melihat’ kebaikan-kebaikan lain di hari itu.
Dan siapa yang rugi? KITA sendiri.
Contoh di atas adalah interpretasi otomatis yang saya maksud. Kita seringkali tidak ‘mengolah’ persepsi kita terlebih dahulu, sampai-sampai kita tidak menyadari lagi hal mana yang merupakan fakta dan mana yang merupakan interpretasi. Dan akhirnya, yang mengganggu kita bukanlah peristiwa yang terjadi, akan tetapi interpretasi kita atas peristiwa tersebut, persis seperti quote Epictetus di atas.
Sekarang mari kita bedah contoh tadi dengan menggunakan kerangka STAR untuk menghasilkan interpretasi rasional.
STAR adalah akronim dari 4 langkah dasar dalam mengelola interpretasi, masing-masing:
- S : Stop
- T : Think
- A : Assess
- R : Respond
Dalam kerangka ini, proses mental kita dalam menghadapi contoh kasus di atas akan terjadi dalam urutan berikut:
- Stop: Berhentilah dulu, ambil jeda saat kita merasakan emosi negatif mulai muncul. Jangan terlalu reaktif. Ini sesuatu yang barangkali terdengar hampir tidak mungkin dilakukan, terutama saat emosi kita sedang berkecamuk. Faktanya adalah bahwa ini bisa dilatih, dan semakin dilatih kita juga akan lebih efektif melakukannya.
- Think : Gunakan akal. Setelah mengambil jeda, saat itulah otak kita dapat berfungsi dengan optimal lagi untuk memproses apa yang sedang terjadi. Fakta peristiwanya adalah seseorang berkomentar tentang kita, itu saja. Faktanya hanya sampai di situ. Emosi yang kita rasakan tadi adalah hasil dari interpretasi otomatis kita atas fakta tersebut. Fakta bahwa seseorang berkomentar tentang kita adalah sebuah peristiwa yang netral (tidak baik atau buruk), dan sesuai dengan prinsip dikotomi kendali, komentar orang lain terhadap diri kita ada di luar kendali kita. Kita tidak bisa menghentikan orang berkomentar, dan karena itu, kita bisa lebih tenang menghadapi pengalaman ini. Dari pengalaman ini kita bisa belajar bagaimana memberikan komentar yang konstruktif.
- Assess: Kaji emosi. Di tahap ini, kita mengevaluasi kembali emosi negatif yang tadi muncul. Apakah emosi itu cukup berdasar? Apakah bisa dibenarkan? Apakah kalau kita benci atau marah maka situasinya berubah? Tentu tidak, bukan? Kita perlu memahami bahwa orang akan bertindak sesuai dengan apa yang diketahuinya. Ketika orang lain berkomentar tentang kita, dia melakukannya sesuai dengan etika dan kedalaman wawasannya sendiri. Di tahap ini kita bisa menguji emosi kita dengan sebaik mungkin, agar di tahap selanjutnya kita bisa bereaksi dengan lebih sehat.
- Respond: Merespon. Setelah kita menggunakan nalar, berupaya rasional dalam mengamati situasi, saatnya kita memberikan respons. Karena kita bereaksi setelah dipikirkan dengan baik, maka respons ini diharapkan lebih sehat, lebih membawa kebaikan bagi kita, lebih memerdekakan, karena kita sudah berhasil melawan interpretasi otomatis.
Begini kira-kira bagan proses mengolah interpretasi yang terjadi:
Dengan secara aktif menguji persepsi, kita akan mampu menghadapi berbagai situasi dengan lebih tenang, dan pasti akan menghindarkan kita dari banyak masalah. Seringkali masalah muncul karena kita terlalu serba emosional dalam menanggapi segala sesuatu.
Saya adalah orang yang masih sering jatuh dalam jebakan interpretasi otomatis, dan saya harus melatih diri saya untuk lebih baik lagi. Itulah alasan utama saya mendalami filsafat Stoikisme ini dan membagikannya kepada teman-teman sekalian, karena saya ingin agar kita semua juga menjadi lebih baik dalam mengarungi kehidupan yang penuh dengan peristiwa yang tidak selalu menyenangkan.
Versi audio postingan ini tersedia dalam bentuk podcast audio yang bisa diakses di bagian atas tulisan ini. Silakan follow podcast saya apabila teman-teman merasa isinya bermanfaat.
Semoga kita semua semakin baik dan lebih bijaksana setiap hari. 🤩
Salam,