Selamat datang di blog Paulinus Pandiangan. Semoga kamu menemukan sesuatu yang berguna.   Click to listen highlighted text! Selamat datang di blog Paulinus Pandiangan. Semoga kamu menemukan sesuatu yang berguna.

Hidup di Dunia yang Tak Sempurna

Kita semua tahu bahwa dunia ini bukanlah ‘arena’ yang ideal, dalam arti bahwa setiap orang memiliki masalah masing-masing dan dunia ini penuh dengan persoalan dan ada disfungsi sistem, tetapi ideal sebagai medan untuk mempraktikkan filosofi.

Dunia bukan tempat dimana segalanya sempurna.

Menyikapi ini, ada 2 pilihan: sinis dan menjadi apatis, atau bertindak dan berupaya terus menjadi lebih baik.

Pilihan pertama sangat mudah. Kita bisa memalingkan perhatian dari segala persoalan dan ketidakberesan, menyalahkan dunia atas ketidaksesuaian antara situasi ideal di benak kita dengan apa yang sesungguhnya terjadi dan dialami. Finger pointing.

Pilihan kedua lebih sulit. Jauh lebih sulit. Kita perlu menyeimbangkan antara bersikap pragmatis dan realistis. Kita harus tetap bisa mengoptimalkan setiap situasi di mana kita berada. Kita tak bisa mengharapkan bahwa segala sesuatu akan ideal. Akan ada ‘gap’ antara konsep yang ada di benak kita dengan kenyataan yang kita alami dan lihat sendiri di kehidupan nyata, dan apa pun situasinya, itulah yang harus kita kelola. Di situlah lingkup kita.

Dan hidup memang seperti itu. Kita berada di dunia penuh cacat karena memang dipenuhi orang-orang yang tak sempurna. Kita sendiri pun tak sempurna. Maka menjadi tidak adil apabila kita merasa lebih baik dari orang lain. Ada banyak hal dalam diri kita sendiri yang harus kita perbaiki, dan ada banyak hal baik yang bisa kita lakukan. Memilih untuk tidak berpartisipasi dalam kebaikan—hanya karena kita apatis dengan keadaan dunia saat ini—tentu bukan pilihan yang bijaksana.

Dan tentu saja tak realistis, karena kita memang berada di ‘arena’ yang penuh dengan ketidaksempurnaan. Disfungsi. Kelemahan.

Burnt Toast Theory dan Kekuatan Perspektif

Ada sebuah metafor menarik yang dikenal dengan nama burnt toast theory. Ide dasarnya adalah bahwa sebuah keterlambatan kecil (keterlambatan berangkat kerja karena memanggang roti untuk sarapan) bisa jadi menjadi sebuah berkat terselubung (blessing in disguise). Keterlambatan ini bisa saja merupakan bagian dari mekanisme alam untuk menghindarkan kita dari kecelakaan di jalan raya. Atau, bisa jadi bahwa dengan sedikit terlambat kita justru bertemu dengan seseorang yang menarik di perjalanan.

Metafor ini mengingatkan kita bahwa hidup penuh dengan kejutan-kejutan kecil, dan kita memiliki kekuatan untuk menumbuhkembangkan perspektif yang sehat dan berimbang tentang hidup; bahwa kegagalan atau keterlambatan pun bisa menjadi berkat di kemudian waktu.

Burnt toast theory = mindset.

Kekuatan Perspektif

Berikut beberapa cara mengintegrasikan mindset ini dalam rutinitas sehari-hari:

Merangkul Fleksibilitas dan Kemampuan Beradaptasi

Perjalanan hidup tidak akan selalu sesuai rencana kita. Dengan fleksibel dan selalu siap menyesuaikan diri dengan keadaan, kita tidak akan kesulitan dalam mengarungi perubahan-perubahan dalam hidup. Perubahan pasti akan selalu terjadi. Menerapkan mindset ini akan sangat membantu kita menekan kecemasan akibat perubahan dan akan memampukan kita menghadapi tantangan-tantangan yang lebih besar lagi ke depannya dengan sikap tenang tanpa gusar berlebihan.

Menumbuhkembangkan Optimisme

Bersikap optimis tidak berarti bahwa kita mengabaikan kesulitan hidup, akan tetapi memilih berfokus pada kesempatan-kesempatan baru yang muncul bersamaan dengan tantangan / kegagalan / keterlambatan. Tetap ada potensi yang bisa digali dalam suasana yang ‘terlihat’ negatif. Kemampuan untuk berpikir seperti ini akan meningkatkan tingkat kepuasan hidup dan kebahagiaan. Menjadi lebih optimis adalah sesuatu yang bisa dilatih.

Mempraktikkan Hidup Berkesadaran (Mindfulness)

Hidup berkesadaran adalah benar-benar ‘hadir’ dalam setiap momen, tidak hanya secara fisik, tetapi secara utuh, mental dan fisik; hidup sepenuhnya dalam saat ini, terbebas dari kecenderungan impulsif untuk selalu menghakimi dan melabeli segala sesuatu. Ketika mengalami kegagalan, adalah sangat baik apabila kita bisa dengan tenang menarik nafas, mengakui perasaan yang kita alami, apa pun itu, dan lalu melepasnya. Praktik berkesadaran seperti ini bisa menjaga kita tetap waras dan membumi, dan ‘gangguan-gangguan’ kecil tidak akan menjadi narasi yang dibesar-besarkan dalam pikiran, yang malah akan membuat kita semakin tertekan (stress).

Bersyukur

Menulis jurnal rasa syukur sangat banyak dipakai orang dan banyak dari mereka yang mendapatkan manfaat darinya. Menulis jurnal seperti ini membantu kita berfokus pada hal-hal baik dalam hidup, termasuk hal-hal baik kecil yang terjadi saat kita mengalami kegagalan. Menuliskan secara sadar hal-hal yang kita syukuri sepanjang hari bisa membantu kita mengapresiasi berkat-berkat tersembunyi dalam hidup.

Membangun Perspektif Berimbang

Perspektif berimbang meliputi pemahaman bahwa hidup itu sendiri ibarat campuran dari beragam pengalaman, baik yang menyenangkan maupun yang tidak. Berikut beberapa tips membangun perspektif yang sehat dan berimbang:

  1. Berdamailah dengan ketidaksempurnaan. Hidup tidak harus sempurna dan sama sekali tidak bisa diprediksi. Menyadari fakta mendasar ini akan membantu kita ‘melepaskan’ ilusi kendali dan kesempurnaan. Hasil akhirnya adalah bahwa saat mengalami kesulitan pun, batin kita bisa tetap tenang.
  2. Berfokus pada pertumbuhan. Kegagalan bisa dipandang sebagai kesempatan untuk belajar dan membenahi diri sehingga bisa lebih berkembang lagi. Dalam proses ini, kita secara tidak langsung juga menumbuhkan resiliensi atau ketangguhan, kesabaran, dan keterampilan memecahkan persoalan. Mindset yang berorientasi pada pertumbuhan inilah yang akan membantu kita menavigasi beragam tantangan hidup dengan sikap optimis dan percaya diri.
  3. Terhubung dengan orang lain. Dukungan orang-orang terdekat sangat membantu di tengah kesulitan. Pengalaman hidup yang dibagikan kepada teman-teman terdekat akan mengundang saran dan perspektif segar yang barangkali tidak terpikirkan sebelumnya. Ingatlah bahwa kita tidak harus selalu berjuang sendirian.

Kalau kita menyimak perjalanan hidup tokoh-tokoh besar, kita akan menemukan pola yang relatif seragam. Kejayaan mereka selalu diawali dengan rangkaian kegagalan. J. K. Rowling, sebagai satu contoh, ditolak penerbit berpuluh kali sebelum akhirnya Harry Potter dikenal orang di seluruh dunia.

Pengalaman gagal menjadi batu loncatan yang ‘melontarkan’ orang yang berjuang dengan gigih ke gerbang kejayaan.

Maka kalau kiranya kita bisa menerapkan prinsip ini dalam kehidupan masing-masing, rasanya besar kemungkinan bahwa kita pun akan berhasil pada saat yang tepat. Mari belajar menjadi orang-orang yang fleksibel, selalu siap beradaptasi, berlatih untuk optimis, hidup berkesadaran, dan senantiasa bersyukur atas hal-hal baik dalam hidup, sekecil apa pun. Ingatlah bahwa apa yang kita persepsikan sebagai kemunduran, kegagalan, atau keterlambatan seringkali bisa dimanfaatkan semesta untuk menghantar kita pada keberhasilan yang gemilang.

Delays can be a blessing in disguise.

Buku 30 Quotes for Life

Hai, teman-teman sekalian! 🤗

Saya selalu senang membagikan pesan yang kiranya bisa berguna untuk orang lain, entah melalui status WhatsApp, atau bahkan… buku gratis!

Maka itulah yang akhirnya mendorong saya untuk membuat buku kecil kutipan kata-kata bijak yang diberi judul 30 Quotes for Life.

Cover 30 Quotes for Life

Buku ini, sesuai judulnya, berisikan 30 kutipan kata-kata bijak tentang makna hidup, kebahagiaan, dan kebijaksanaan. Jumlah 30 dimaksudkan bahwa koleksi kutipan ini bisa dinikmati perlahan selama sebulan penuh, satu kutipan untuk sehari. Karena kata-kata bijak mengandung kebenaran lintas waktu (timeless truth), maka tak berlebihan kiranya kalau saya memberi judul 30 Quotes for Life, karena kata-kata bijak selalu bisa direfleksikan kapan pun juga dan bisa menjadi relevan dengan konteks kehidupan setiap orang di waktu yang berbeda-beda.

Karena saya membuat buku quotes ini sebagai cara untuk belajar bahasa Inggris juga, maka semua kutipan ditampilkan dalam bahasa Inggris. Bersama dengan tiap quote, saya membubuhkan interpretasi atau pemaknaan pribadi secara singkat dalam bahasa Indonesia.

Of course, you’re free to have your own interpretation as well.

Semoga buku kecil ini berguna untuk kalian semua, dan kalau kalian mempunyai quote favorit, akan sangat menyenangkan apabila kita bisa saling berbagi. Silakan membagikannya di kolom komentar di bagian bawah postingan blog ini jika berkenan.

Silakan mengunduh bukunya di link berikut ini: ⤵️

Feel free to share this free e-book with anyone. Enjoy! 🤩

The Practice of ‘Contemplatio’

‘Contemplatio’ adalah versi Latin untuk ‘contemplation’, atau berpikir tentang sesuatu secara mendalam. Ini adalah proses introspektif dimana kita secara sadar memilih untuk merefleksikan sesuatu. Berefleksi tentu saja secara alamiah adalah proses yang perlahan. Tidak diburu. Maka ketika kita berkontemplasi, kita masuk ke dalam ‘slow mode‘.

And that is where the magic starts to happen.

Kontemplasi itu sebenarnya apa?

Kontemplasi adalah upaya untuk tetap memiliki ‘kejernihan batin’ di tengah hiruk-pikuk kehidupan. Ini hanya akan terjadi apabila kita ‘menepikan’ segala gangguan, setidaknya untuk sementara, dan ‘melarutkan’ diri dalam refleksi. Dalam kontemplasi kita justru ‘bergulat’ dengan isi pikiran, perasaan, atau hal tertentu yang tengah menarik perhatian. Kontemplasi adalah proses introspektif yang dilakukan dengan tenang dan cermat untuk memperoleh pemahaman yang utuh akan berbagai ide atau hal yang menarik bagi kita.

Apa saja manfaatnya?
  • Pertama, kejernihan pikiran. Ibarat merapikan meja yang penuh dengan lembaran berkas, kontemplasi adalah ‘merapikan pikiran’ dan membantu kita ‘melihat’ berbagai hal dengan ‘jernih’.
  • Kedua, tentu akan mempengaruhi emosi kita. Saya pernah membaca bahwa isi pikiran mempengaruhi emosi, dan sebaliknya, emosi menimbulkan pikiran-pikiran baru. Merefleksikan emosi sangat berpotensi membantu kita dalam memahami dan selanjutnya mengendalikannya. Emotional regulation.
  • Meningkatkan kreatifitas. Berpikir secara mendalam akan memungkinkan kita mengeksplorasi ide-ide dan konsep secara terperinci. Ini seringkali membukakan pikiran kita akan hal-hal baru yang barangkali tidak disadari sebelumnya.
  • Menjadi lebih sadar diri. Kontemplasi akan membuat kita semakin mengenal siapa kita sebenarnya. Dengan mengenal diri secara baik, kita selalu akan tahu apa yang harus dilakukan. Pribadi kita akan bertumbuh.
Lalu bagaimana mempraktikkannya?

Berikut cara-cara yang dapat dilakukan untuk berkontemplasi:

Pertama, temukan tempat yang hening. Tempat seperti ruangan yang hening, taman, atau tempat lain dimana kita bisa merasa damai.

Kedua, sediakan waktu. Tidak ada standar waktu untuk kontemplasi. Apabila 15 sampai 20 menit dirasa cukup, maka menyisihkan waktu 20 menit setiap hari rasanya tidak sulit. Di luar hari kerja biasa, saya pun sering menggunakan hari Minggu untuk memikirkan sesuatu yang menarik.

Ketiga, menentukan fokus. Apa yang ingin saya refleksikan tentu akan berbeda dengan orang lain. Setiap orang bisa mengkontemplasikan berbagai hal yang penting bagi mereka, misalnya persoalan hidup, sebuah kalimat menarik dari buku, pertanyaan filosofis, atau perasaan masing-masing.

Keempat, merilekskan diri. Kontemplasi tidak akan terjadi dalam suasana tegang. Maka kita harus membiarkan diri untuk rileks dan bernafas dengan tempo yang tenang. Seperti yang saya sampaikan di awal, kita beroperasi dalam ‘slow mode‘.

Kelima, amati isi pikiran dan refleksikan. Biarkan pikiran-pikiran itu mengalir secara alami. Amati tanpa menghakimi. Refleksikan mengapa pikiran-pikiran itu muncul dan apa artinya bagi kita secara pribadi.

Keenam, tuliskan. Saat kita menulis hasil refleksi, kita ‘mengkristalkan’ hasil refleksi itu. Pada akhirnya praktik menuliskan buah refleksi akan memperkuat pemahaman kita akan diri kita sendiri. It’s pretty much like self-auditing our thoughts and feelings.

Ketujuh, membuat dialog dengan diri sendiri. Kita bisa mengajukan pertanyaan reflektif seperti, “Mengapa saya merasakan emosi ini?” atau “Apa yang bisa saya pelajari dari hal atau pengalaman ini?”

Terakhir, bersabarlah dengan diri sendiri. Pertanyaan-pertanyaan yang kita ajukan pada diri sendiri seringkali tidak langsung terjawab. Tujuan kontemplasi bukanlah untuk menemukan jawaban saat itu juga. Berikan waktu pada pikiran kita untuk berproses.

Teknik kontemplasi juga ada macam-macam. Ada kontemplasi di alam terbuka dimana orang mereflesikan keindahan dan kompleksitas alam sekitar. Ada juga kontemplasi musik dan seni, dimana orang berusaha menggabungkan unsur-unsur seni dan musik dalam kontemplasinya untuk bisa merefleksikan emosi mereka dengan sepenuhnya. Juga ada kontemplasi religius, dimana orang merefleksikan isi kitab suci dan ajaran-ajaran spiritual. Dan ada pula kontemplasi filosofis, dimana orang ‘bergumul’ dengan pertanyaan-pertanyaan filosofis tentang esensi hidup dan arti menjadi manusia, misalnya.

Hakikat kontemplasi dilakukan adalah agar kita memperoleh kejelasan arah hidup, membuat kita lebih memahami emosi dan lebih terampil mengendalikannya, dan pada akhirnya agar kita semakin bertumbuh, baik secara mental maupun spiritual. 🌻

"Contemplation is the highest expression of man’s intellectual and spiritual life. It is that life itself, fully awake, fully active, fully aware that it is alive.”Thomas Merton

Practicing Gratitude (When It’s Hard)

It’s natural to be grateful during good days. It’s as easy as smiling at a pleasant surprise.

But as with a boat not designed to be stuck ashore, gratitude is a practical skill most necessary during challenging times, just like a candle is mostly needed in darkness to light up our pathways.

Gratitude isn’t confined to only big things. Gratitude for the small things, also known as micro-gratitude, is just as valid and valuable as gratitude for the big things.

When you practice gratitude, you look for things, big or small, to be grateful for each day, especially amidst hard times, such as when you are experiencing grief due to losing a loved one, contracting a disease, losing a job, etc. These small things can include a beautiful sunrise, a kind gesture from a friend, or simply the ability to breathe.

Here are some simple thoughts I’d like to share about gratitude when I lost my dad last year:

One: I know it’s hard to be grateful during hard times. I lost my dad in September 2023, and I could barely notice small good things happening around my dad’s passing when it happened. It’s really hard. I was sucked into a rabbit hole of deep sadness, not having a clue how to navigate this experience. That’s why you should give yourself some space to grieve, and to grieve only. Take as much time and space as you need.

Two: Over time, you’ll begin to notice things. Slowly but surely, things begin to unfold in front of your eyes. I noticed that many people came to my dad’s funeral, and I received advice from them. I noticed that the requiem mass for him was well run. I noticed that the entire funeral procession was a success. I noticed that his grave location was decided thoughtfully, and it’s a beautiful spot. I noticed that he’s been teaching us all these years with his deeds and real-life examples. I noticed that he’d been working so hard to make sure things were good at home. I noticed that he didn’t ask for much for himself; he was always happy with little. I noticed that his life was really a good model for us, his children. Deep down, as time progresses, I will keep noticing things about his life, more and more.

And third: I am grateful for his life. It’s been 9 months since he passed. I am still teary-eyed whenever I remember him, but today I am at a state where I can finally be truly grateful that he was my dad and always will be. If one could pick a life for themselves, I would still pick my dad to be my dad. In another life, if it’s even real, I would love to meet him again.

What I am saying is this: It’s totally fine if you don’t feel like being grateful right now as hard things happen. Acknowledge that it’s hard to. Know that God understands you completely. He’ll be OK with that, trust me.

After a certain amount of time, there’s going to be a phase where you begin to see things with a new set of eyes. Eyes that have been washed with constant tears. And there you’ll see things you didn’t know you could see after the experience. For me, I receive a lot of insights from what I discern personally from the experience and what I read and listen to from multiple sources.

But above all, it was the divine power that enabled me. I can tell you this with high certainty because time and again, it’s when I surrendered to God that I was strengthened again. Had it not been for His company, I totally doubt that I would be where I am right now, because I know just how hard it was to pick myself up again.

As with all good things in life, it takes time.

Let me assure you that you’re going to grow through hard times. You may never heal fully. I never did. But life is there for you. Life welcomes you anytime you’re ready to continue. Keep being alive, for the people you hold dear, deep in your heart.

They will be proud of you from up there. I truly believe that. 😊

Love,

Paulinus Pandiangan

Melepaskan Keterikatan dari Ego

Jujur saja ini topik yang berat dan saya tidak sedang mengklaim diri saya sebagai orang yang memiliki pemahaman yang mendalam tentang ego dan bagaimana melepaskan kemelekatan dengan ego itu sendiri. Tulisan ini dimaksud hanya sebagai ‘rekaman’ dari apa yang setidaknya berhasil saya ‘tangkap’ dari beberapa sumber (buku, podcast, dan video) yang berbicara tentang ego.

Lalu apa yang kiranya bisa dilakukan untuk melepaskan kemelekatan dari ego kita sendiri?

Pertama: Mengamati pikiran. Menyadari apa yang tengah dipikirkan menjadi langkah awal, terlebih untuk pikiran-pikiran yang cenderung tidak positif. Kita sebenarnya memiliki kemampuan untuk menjadi pengamat (observer) pikiran-pikiran kita sendiri. Ini sesuatu yang bisa dilatih. Sebagai contoh, misalnya kita sedang mengkritik diri kita sendiri. Apabila pikiran ini berulang terus menerus, pada akhirnya kita akan menyadari, “Hmm, tampaknya pikiran ini selalu muncul lagi dan lagi hampir setiap hari tanpa benar-benar saya sadari sebelumnya.”

Lalu kedua: Membedakan antara ‘bisikan’ ego dan situasi yang sebenarnya. Misalnya kita sedang berada di barisan antrian. Akibat lama menunggu, kita menjadi tidak sabar dan menggerutu dalam hati. Lalu timbul sebuah pikiran, “Ini hanya membuang-buang waktu saja!”. Pikiran semacam itu sebenarnya adalah suara ego kita sendiri. Situasi yang sebenarnya terjadi adalah bahwa benar ada antrian, tetapi kita tetap bisa menikmati suasana antrian itu dengan berpikir, “Saya sedang antri. Tidak mengapa. Toh, situasi ini tidak dalam kendali saya. Mengapa saya tidak mencoba menarik nafas dalam-dalam dan mulai menikmati antrian ini?”

Ilustrasi ego yang ‘membebani’ kita sendiri.

Ketiga: Munculkan kesadaran ke permukaan. Ketika kita sudah bisa membedakan ‘bisikan’ ego dan situasi yang sebenarnya, di situlah bermulanya kesadaran (awakening). Setelah itu, bisa saja kita dipengaruhi ego lagi, tetapi secara perlahan kesadaran itu akan semakin menguat dan secara perlahan pula pikiran-pikiran yang mengganggu akan semakin meredup. Ego tidak pernah menginginkan perubahan, dan proses untuk sampai pada kesadaran ini biasanya terjadi perlahan.

Keempat: Lepaskan narasi-narasi dalam pikiran yang menghalangi kita untuk berbuat. Ketika misalnya seseorang kehilangan pekerjaan, dia tak lantas mengutuk dirinya. Dia bisa menggambarkan keadaannya dengan, “OK, saya sedang tidak memiliki pekerjaan saat ini. Yang harus saya lakukan adalah segera mencari pekerjaan.”

Kelima: Buang jauh semua pikiran yang semakin ‘melemahkan’ kita sendiri. Saat bangun di pagi hari dan tiba-tiba hujan lebat, kita bisa mengubah pikiran, “Ini awal hari yang buruk!” menjadi pikiran yang bersyukur. “Ternyata di luar tidak begitu buruk. Langit di saat hujan juga tetap bisa dinikmati.” Saat itu dilakukan secara sadar dalam pikiran, kita akan terbebas dari “belenggu” ego. Kita tidak lagi ‘melapisi’ realitas dengan pikiran kita yang tidak positif, justru kita bisa menikmati sebuah situasi yang kita kutuk sebelumnya.

Menjabarkan ini dalam tulisan tentu jauh lebih mudah dari melakukannya. Semoga kita menjadi manusia yang semakin berkesadaran dan tidak terkungkung dalam ‘bisikan’ ego yang malah menghalangi kita untuk lebih baik lagi.

Some Life Lessons

People change over time. They do. What is important to you today may not be that important five or ten years from now, which begs the question, “At the end of the day, what is the most important thing in life?”

The following few ideas might shed some light on the question:

One: good and genuine relationships. Many people become depressed due to feeling disconnected and not having a sense of deep relationship with something bigger than themselves.

Two: keep learning things. There is always something to learn. Try out new things and keep learning. Never let your age stop you from learning. You can always be a beginner at any age.

Three: Don’t chase happiness. Emotions come and go, and every single emotion is valid. Focus on doing the right thing.

Four: Don’t care too much about what people say. Remember that most of the time, we’re not that important in their eyes. After all, we’re going to become more invisible as we age.

Five: Be kind. Being kind has nothing to do with how others perceive you or behave towards you. You’re kind because you know it’s the right thing to do.

Six: Maintain your health, both mentally and physically. You are the one most responsible for this.

There is one more thing…

Do you remember the last time you were happiest? That’s actually when you’re least aware of yourself, right?

When you were really absorbed in doing something, you lost track of time. You really enjoyed doing it. Psychologist Mihaly Csikszentmihalyi called it the ‘flow state,’ and if we press it further, the ‘flow state’ requires you to be “non-self-centered.”

Saint Augustine, a Catholic theologian and philosopher, used to say “curvatus in se,” meaning when you are too self-centered, curved inward on yourself, that is when you are miserable. That’s why the most unhappy people are the ones who embrace a lifestyle that is all about them. It’s all me, me, and me.

"We are put on earth a little space to grow, to learn, and then to give back to the world." — Mary Engelbreit

On Paying Our Debt

Sejak dilahirkan, kita sudah berhutang (yang dimaksud di sini bukan hutang dalam konteks finansial semata). Kita berhutang atas kebaikan orang lain yang kita terima. Kita dirawat sejak kecil. Orangtua bekerja keras untuk merawat, membesarkan, melindungi, memenuhi kebutuhan, mendidik kita. Seseorang di belahan dunia lain menemukan perangkat elektronik yang kita gunakan untuk membaca postingan ini. Para filsuf di masa lampau menemukan dan merumuskan prinsip-prinsip dan kebijaksanaan hidup yang bisa kita akses dengan mudah saat ini. Kita tinggal di negeri yang diperjuangkan dengan keringat, darah, dan nyawa. Kita mengenakan pakaian yang dirancang dan dibuat orang lain. Kita menikmati makanan yang telah melalui rantai produksi yang panjang dan melibatkan banyak orang. Kita bisa mempelajari beragam ilmu berkat dedikasi para guru dan ilmuwan. Kita menikmati kemajuan teknologi hasil pengembangan bertahun-tahun. Inilah berbagai bentuk hutang yang harus kita bayar.

Albert Schweitzer, seorang filsuf, musisi, dan dokter peraih Nobel mendedikasikan hidupnya mendirikan dan mengoperasikan fasilitas kesehatan di Afrika. Saat ditanya alasannya melakukan hal ini, dia berkata, “Kita sebenarnya tidak punya pilihan apakah kita harus berbuat baik kepada orang-orang ini. Ini adalah tugas dan tanggung jawab moral kita. Apa pun yang kita berikan kepada mereka bukanlah kebaikan hati, melainkan penebusan. Penebusan atas horor kolonialisme yang telah mereka alami sekian lama. Penebusan harusnya menjadi dasar dari semua perbuatan belas kasih.

Penebusan harusnya menjadi dasar dari semua perbuatan belas kasih.

Albert Schweitzer

Maka pertanyaan yang perlu kita jawab dengan cara kita masing-masing adalah: How will I pay my debt? Apa yang bisa saya kontribusikan kepada lingkungan saya?

Tentu tidak semua orang bisa melakukan tindakan sebesar skala Albert Schweitzer di atas. Akan tetapi, berkontribusi itu bisa dilakukan dalam berbagai variasi konteks dan skala; setiap orang bisa tetap berkontribusi sesuai konteks situasi masing-masing.

Berikut beberapa contoh hal praktis yang bisa dilakukan:

  • Menjadi sukarelawan. Bergabung dengan organisasi kemanusiaan, organisasi non-profit, atau komunitas pengembangan diri, tanpa harus mengharapkan bayaran.
  • Memberikan donasi. Memberikan sumbangan finansial kepada organisasi-organisasi terpercaya yang berfokus pada misi-misi kemanusiaan.
  • Berbuat kebaikan-kebaikan kecil. Misalnya dengan membelikan teman secangkir kopi, memberikan senyuman tulus kepada tetangga atau rekan kerja.
  • Menjadi mentor. Kita bisa juga membagikan tips-tips atau ilmu yang dikuasai kepada orang lain yang sekiranya membutuhkan, misalnya dengan membuat dan membagikan video-video edukatif di media sosial.
  • Mendukung usaha lokal. Membeli di warung di sekitar lokasi rumah untuk mendukung berkembangnya usaha mereka. Ini juga membantu mempererat ikatan sosial.
  • Terbuka membantu orang lain. Sesederhana memberikan waktu dan mau mendengarkan orang lain.
  • Mendoakan kebaikan untuk orang lain. Ini juga bentuk kontribusi yang sangat positif.

☘️ ☘️ ☘️

Setiap orang memiliki cara tersendiri untuk memberikan kontribusi bagi komunitas dimana mereka berada. Saya percaya bahwa setiap orang ingin berkontribusi di lubuk hati mereka yang terdalam . We’re wired to do so, and that’s why it feels so good to give. 😍

"The meaning of life is to find your gift. The purpose of life is to give it away." — Pablo Picasso

Kontemplasi, Kebiasaan Unik Para Tokoh Hebat

Satu sisi unik dari kebanyakan tokoh-tokoh hebat yang tidak banyak disebutkan dalam publikasi mengenai diri mereka adalah kontemplatif. Most of them, if not all, are involved in deep prayer and contemplation on a daily basis. Mereka memiliki kualitas untuk terhubung sangat erat dengan Tuhan; dan banyak dari antara mereka yang (bahkan) menghabiskan waktu berjam-jam berkontemplasi!

Sebut saja misalnya Albert Einstein, yang barangkali tidak secara umum dikenal sebagai orang yang religius, tetapi dalam berbagai kesempatan selalu mengungkapkan rasa takjub akan alam semesta dan sangat suka berefleksi tentang Sang Ilahi. Contoh lain misalnya Blaise Pascal, filsuf sekaligus ilmuwan Prancis yang sangat terkenal itu. Bahkan tulisannya yang sangat terkenal, “Pensées,” sebenarnya berisi hasil refleksi dan pengalaman religiusnya terkait iman dan ilmu pengetahuan. Lalu ada Bunda Teresa dari India, yang bisa menghabiskan waktu berjam-jam berdoa sambil merenungkan kitab suci, atau Santa Teresa dari Ávila, Spanyol, yang sangat suka berdoa dan dikenal sangat lembut tetapi sangat disiplin dalam menjaga rutinitasnya untuk berdoa. Pemikiran-pemikirannya yang dituangkan dalam bukunya yang terkenal itu, “The Interior Castle” dinilai berkontribusi sangat positif memperkaya iman Katolik. Dan masih panjang deretan orang-orang hebat lainnya, seperti Gregor Mendel, imam Katolik pencetus ilmu genetika, Georges Lemaître, pencetus teori Big Bang, Athanasius Kircher, imam Jesuit yang dikenal memberi banyak sumbangan pemikiran tentang magnetisme, Roger Bacon, yang mengembangkan metode saintifik dan menyumbangkan banyak pemikiran tentang optik, dan seterusnya…

Sekilas berkontemplasi ini tampak seperti sebuah aktivitas pasif, dimana tidak ada pencapaian nyata yang bisa dilihat dan diukur menurut metriks produktivitas. Akan tetapi pada hakikatnya kontemplasi menunjukkan keaktifan untuk menerima Tuhan, membiarkan Tuhan berbicara dan berkarya melalui diri. To let God be God. Inilah sebuah kekuatan yang tidak banyak orang yang menyadarinya; dan inilah yang membedakan orang-orang besar dengan orang-orang biasa seperti kita-kita ini, hahaha… 😂

So, in regard to that, I would say that your greatness is not so much about your intelligence and practical abilities. Of course, those are important too, but the most important thing is actually your willingness to let God work through you. It’s through your humility that you allow yourself to be a channel for God’s work.

And it’s only possible if you put yourself in deep prayer and contemplation, as those great folks in history have proven time and again. After all, He is the only true source of all greatness, right? 😉

☘️ ☘️ ☘️

Take Things with A Grain of Salt

Barangkali salah satu nasihat kehidupan terbaik adalah “Always take things with a grain of salt“. “Take things with a grain of salt” atau “Take things with a pinch of salt” bermakna bahwa kita sebaiknya menyikapi sebuah pernyataan atau informasi dengan sikap skeptis dan kritis. Kita sebaiknya tidak mempercayai sebuah informasi sebagai sebuah kebenaran utuh begitu saja. Kita perlu mempertanyakan akurasi dari sebuah informasi, mempertimbangkan bahwa ada potensi bahwa bisa saja ada elemen informasi yang dibesar-besarkan dan ada bias di dalamnya. Dengan kata lain, diperlukan kehati-hatian dalam menyikapi informasi, yang barangkali tidak sepenuhnya akurat atau benar.

Hal ini bisa diaplikasikan saat kita:

Mengakses berita dari media. Berita di era ini tersaji dengan cepat dan dimutakhirkan dengan cepat pula. Efeknya adalah kita sebagai konsumen informasi menjadi sangat mudah untuk diombang-ambingkan oleh pelaporan yang bias. Kita bisa mengecek ulang sumber informasinya, melihat apakah saluran berita tersebut memiliki reputasi yang baik, dan sadar akan potensi bias dalam pelaporan berita.

Menggunakan media sosial. Aplikasi media sosial penuh dengan opini, rumor, dan informasi yang keliru. Apabila kita tidak cermat menyikapi sebuah informasi, dan langsung membagikan sebuah informasi tanpa bersikap kritis, maka informasi yang keliru itu bisa menyebar dengan sangat cepat. Perlu kita mengecek kredibilitas sumber informasi dan mengecek ulang fakta yang disampaikan. Berpikir kritis menjadi sangat esensial dalam menyikapi setiap potongan informasi di media sosial.

Berinteraksi secara personal dengan orang lain. Informasi yang sampai ke telinga kita bisa berupa sepotong gosip atau saran dari seorang teman. Semua bentuk informasi ini juga harus dicermati, karena bisa saja kebenarannya masih bisa dipertanyakan. Perspektif semua orang sangat tergantung dari pengalaman dan bias kognitif mereka, sehingga sangat perlu kita cermat mendengarkan, tetapi di saat yang sama mengevaluasi konteks dan motif tersembunyi dari apa yang mereka sampaikan.

Apa manfaat dari mindset skeptis seperti ini?

Pertama, kita akan terlatih berpikir kritis. Ini adalah sebuah kemampuan yang harus terus dilatih, terutama di era saat ini dimana informasi terlalu banyak. Menelan informasi secara utuh tanpa dicerna terlebih dulu bisa membawa dampak yang signifikan, bagi diri sendiri dan juga bagi komunitas dimana kita berada.

Kedua, kita akan terlindung dari misinformasi. Informasi keliru sangat banyak tersebar dewasa ini, sehingga bersikap skeptis secara berimbang akan melindungi kita dari kemungkinan menjadi ‘korban’ propaganda dan kekeliruan.

Ketiga, kita akan memiliki perspektif berimbang, karena kita meninjau informasi tidak hanya dari satu sisi saja. Kita bisa memahami nuansa dari sebuah informasi dan isu-isu kompleks yang terkandung di dalamnya, sehingga opini yang lahir dari benak kita adalah opini yang berdasarkan asupan informasi yang berimbang.

Lalu bagaimana caranya kita bisa memiliki mindset skeptis (baca: kritis) ini?

Kita bisa mengedukasi diri kita sendiri. Pernah mendengar ungkapan “Education is self-education“? Kita bisa mempelajari kekeliruan logika dan bias kognitif secara mandiri dari sumber-sumber yang kredibel untuk memahami bagaimana sebenarnya mekanisme otak kita memproses informasi, memahami potensi untuk bias yang ada dalam semua orang. Memahami ini akan sangat membantu kita mengenali argumen-argumen dan informasi yang keliru dalam kehidupan sehari-hari.

Mendiversifikasi sumber informasi juga adalah langkah yang baik. Tidak terpaku hanya pada satu sumber informasi saja, dan mencoba melihat sebuah informasi yang sama dari beragam sumber. Biasanya ini akan membantu kita ‘melihat’ sesuatu secara lebih utuh dan berimbang, sehingga bisa menyelamatkan kita dari bias konfirmasi, misalnya.

Lalu, bertanya secara kritis. Kita bisa mempertanyakan sumber informasi, tujuan informasi ini disebarkan, dan konteks sebuah informasi. Siapa yang menyediakan informasi tersebut, dan mengapa? Bukti-bukti pendukungnya apa saja? Kalau kita mau sedikit menggali lebih dalam sebuah informasi, kita akan lebih objektif memandang sebuah informasi dan selanjutnya bisa membangun opini yang lebih kaya dan ‘sehat’.

☘️ ☘️ ☘️

Dengan melatih diri untuk tetap kritis dalam menyikapi informasi, kiranya kita akan mampu mengarungi kompleksitas kehidupan modern saat ini dengan lebih percaya diri. Tak semua informasi yang beredar adalah informasi yang benar-benar kita butuhkan. Kalau kita bisa menelaah informasi apa saja yang kiranya bermanfaat bagi kita dan bagi komunitas dimana kita berada, kita bisa membangun perspektif yang lebih sehat, untuk kita sendiri dan setidak-tidaknya untuk lingkar terkecil yang paling dekat dengan kita. 😊

Salam,

Paulinus Pandiangan
Click to listen highlighted text!