Selamat datang di blog Paulinus Pandiangan. Semoga kamu menemukan sesuatu yang berguna.   Click to listen highlighted text! Selamat datang di blog Paulinus Pandiangan. Semoga kamu menemukan sesuatu yang berguna.

The Happiness Paradox

Deep down, all of us want to be happy. It’s a truism. In fact, this fundamental desire is what drives our actions on a daily basis. By nature, we’re going to choose the most probable pathways leading to happiness. But the more we focus on happiness, the less happy we’ll actually be.

That’s the happiness paradox.

Turns out that constantly chasing happiness is a perfect recipe for unhappiness. Chasing joy can leave us empty, especially if we’re involved in the comparison game and material world blues. Comparing the worst of what we know about ourselves to the best assumptions we make about others is a total downer. Equating happiness with material possessions is no less damaging, as stuff only brings temporary joy. Trying to be happy is, by definition, a trap.

Suffice it to say that true happiness comes from deeper things.

Having said that, the following are some real actions we can take to provide a conducive environment for happiness:

Practice mindfulness. Peace lives in the present, so it’s imperative to understand that when one is not at peace, they are either living in the past or in the future. Being mindful means that you are living in the moment, accepting all emotions free of judgment. This attitude alleviates our tendency to be anxious over things beyond our control. Savor the good moments you have right now, and don’t get caught up in the never-ending pursuit of ‘what if.’

Cultivate gratitude. Noticing and appreciating the good things in life, big or small, has the potential to shift our perspective and increase our overall satisfaction. The practice of ‘taking in goodness’ into our mental radar enables us to balance out the negative thoughts popping up in our minds. There is a saying in Latin, ‘Mens grata, vita beata,’ which translates to ‘a grateful mind, a happy life.’ It beautifully captures the essence of how gratitude leads to happiness.

Invest in genuine relationships. The longest study at Harvard University has proven that good relationships nurture us. At the end of the day, happiness is not so much about social status, popularity, or money; it’s more about the quality of our relationships. There’s magic in human connections.

Engage in meaningful activities. These activities can be hobbies, volunteering, or even career-related work. Enjoying what you’re doing has been found to be strongly positive for human psychology, as it leads to a ‘flow’ state.

Accept imperfection. It’s okay to have low days. Life is more like a wave—sometimes we experience good days when everything seems to run smoothly, and other times we encounter problems here and there. Despite that, life is still worth living. To be fully human, we need to experience the full range of emotions, from the least pleasant to the most pleasing ones. Maintain a sense of self-control and resist the temptation to constantly self-criticize.

All in all, joy often comes as a byproduct of living a meaningful and engaged life, rather than from the direct pursuit of happiness itself. Let go of the notion of control and the pressure to be happy. Instead, focus on experiences, relationships, and activities that bring genuine fulfillment, and you’ll find that happiness arrives in its own time and on its own terms.

🤗

The Practice of ‘Contemplatio’

‘Contemplatio’ adalah versi Latin untuk ‘contemplation’, atau berpikir tentang sesuatu secara mendalam. Ini adalah proses introspektif dimana kita secara sadar memilih untuk merefleksikan sesuatu. Berefleksi tentu saja secara alamiah adalah proses yang perlahan. Tidak diburu. Maka ketika kita berkontemplasi, kita masuk ke dalam ‘slow mode‘.

And that is where the magic starts to happen.

Kontemplasi itu sebenarnya apa?

Kontemplasi adalah upaya untuk tetap memiliki ‘kejernihan batin’ di tengah hiruk-pikuk kehidupan. Ini hanya akan terjadi apabila kita ‘menepikan’ segala gangguan, setidaknya untuk sementara, dan ‘melarutkan’ diri dalam refleksi. Dalam kontemplasi kita justru ‘bergulat’ dengan isi pikiran, perasaan, atau hal tertentu yang tengah menarik perhatian. Kontemplasi adalah proses introspektif yang dilakukan dengan tenang dan cermat untuk memperoleh pemahaman yang utuh akan berbagai ide atau hal yang menarik bagi kita.

Apa saja manfaatnya?
  • Pertama, kejernihan pikiran. Ibarat merapikan meja yang penuh dengan lembaran berkas, kontemplasi adalah ‘merapikan pikiran’ dan membantu kita ‘melihat’ berbagai hal dengan ‘jernih’.
  • Kedua, tentu akan mempengaruhi emosi kita. Saya pernah membaca bahwa isi pikiran mempengaruhi emosi, dan sebaliknya, emosi menimbulkan pikiran-pikiran baru. Merefleksikan emosi sangat berpotensi membantu kita dalam memahami dan selanjutnya mengendalikannya. Emotional regulation.
  • Meningkatkan kreatifitas. Berpikir secara mendalam akan memungkinkan kita mengeksplorasi ide-ide dan konsep secara terperinci. Ini seringkali membukakan pikiran kita akan hal-hal baru yang barangkali tidak disadari sebelumnya.
  • Menjadi lebih sadar diri. Kontemplasi akan membuat kita semakin mengenal siapa kita sebenarnya. Dengan mengenal diri secara baik, kita selalu akan tahu apa yang harus dilakukan. Pribadi kita akan bertumbuh.
Lalu bagaimana mempraktikkannya?

Berikut cara-cara yang dapat dilakukan untuk berkontemplasi:

Pertama, temukan tempat yang hening. Tempat seperti ruangan yang hening, taman, atau tempat lain dimana kita bisa merasa damai.

Kedua, sediakan waktu. Tidak ada standar waktu untuk kontemplasi. Apabila 15 sampai 20 menit dirasa cukup, maka menyisihkan waktu 20 menit setiap hari rasanya tidak sulit. Di luar hari kerja biasa, saya pun sering menggunakan hari Minggu untuk memikirkan sesuatu yang menarik.

Ketiga, menentukan fokus. Apa yang ingin saya refleksikan tentu akan berbeda dengan orang lain. Setiap orang bisa mengkontemplasikan berbagai hal yang penting bagi mereka, misalnya persoalan hidup, sebuah kalimat menarik dari buku, pertanyaan filosofis, atau perasaan masing-masing.

Keempat, merilekskan diri. Kontemplasi tidak akan terjadi dalam suasana tegang. Maka kita harus membiarkan diri untuk rileks dan bernafas dengan tempo yang tenang. Seperti yang saya sampaikan di awal, kita beroperasi dalam ‘slow mode‘.

Kelima, amati isi pikiran dan refleksikan. Biarkan pikiran-pikiran itu mengalir secara alami. Amati tanpa menghakimi. Refleksikan mengapa pikiran-pikiran itu muncul dan apa artinya bagi kita secara pribadi.

Keenam, tuliskan. Saat kita menulis hasil refleksi, kita ‘mengkristalkan’ hasil refleksi itu. Pada akhirnya praktik menuliskan buah refleksi akan memperkuat pemahaman kita akan diri kita sendiri. It’s pretty much like self-auditing our thoughts and feelings.

Ketujuh, membuat dialog dengan diri sendiri. Kita bisa mengajukan pertanyaan reflektif seperti, “Mengapa saya merasakan emosi ini?” atau “Apa yang bisa saya pelajari dari hal atau pengalaman ini?”

Terakhir, bersabarlah dengan diri sendiri. Pertanyaan-pertanyaan yang kita ajukan pada diri sendiri seringkali tidak langsung terjawab. Tujuan kontemplasi bukanlah untuk menemukan jawaban saat itu juga. Berikan waktu pada pikiran kita untuk berproses.

Teknik kontemplasi juga ada macam-macam. Ada kontemplasi di alam terbuka dimana orang mereflesikan keindahan dan kompleksitas alam sekitar. Ada juga kontemplasi musik dan seni, dimana orang berusaha menggabungkan unsur-unsur seni dan musik dalam kontemplasinya untuk bisa merefleksikan emosi mereka dengan sepenuhnya. Juga ada kontemplasi religius, dimana orang merefleksikan isi kitab suci dan ajaran-ajaran spiritual. Dan ada pula kontemplasi filosofis, dimana orang ‘bergumul’ dengan pertanyaan-pertanyaan filosofis tentang esensi hidup dan arti menjadi manusia, misalnya.

Hakikat kontemplasi dilakukan adalah agar kita memperoleh kejelasan arah hidup, membuat kita lebih memahami emosi dan lebih terampil mengendalikannya, dan pada akhirnya agar kita semakin bertumbuh, baik secara mental maupun spiritual. 🌻

"Contemplation is the highest expression of man’s intellectual and spiritual life. It is that life itself, fully awake, fully active, fully aware that it is alive.”Thomas Merton

Memahami ‘Post Hoc Ergo Propter Hoc’

“Setelah minum teh herbal, migrain saya langsung hilang. Pasti teh ini yang menyembuhkannya!”

Konstruksi berpikir seperti di atas adalah salah satu contoh kesalahan logika (logical fallacy). Ada istilah khusus untuk kesalahan logika seperti ini: Post Hoc Ergo Propter Hoc.

Terjemahan sederhananya kira-kira, “After this, therefore because of this“. Pada contoh sebelumnya, karena sembuhnya migrain dirasakan setelah meminum teh herbal, maka teh herbal disimpulkan sebagai penyebab sembuhnya migrain.

Fakta menariknya adalah bahwa kita acap jatuh ke dalam konstruksi berpikir yang keliru seperti ini.

Padahal, hanya karena kejadian A terjadi sebelum kejadian B, tidak berarti mutlak bahwa kejadian A menjadi penyebab B. Bisa saja bahwa kejadian A dan B tidak berhubungan sama sekali, dan bahwa keduanya memiliki penyebab masing-masing yang masih perlu diselidiki lebih lanjut, atau bisa saja bahwa kedua kejadian hanya terjadi secara berurutan saja, tanpa memiliki hubungan sebab-akibat (kausalitas).

Berikut beberapa contoh yang menggambarkan kesalahan logika ini:

  • “Kalau saya lulus ujian, biasanya saya mengkonsumsi permen karet beberapa menit sebelum ujian.” Kesimpulannya jelas bukan permen karet yang membuat seseorang lulus ujian.
  • “Setiap saya selesai mencuci kendaraan, pasti hujan!” Kesimpulannya tentu saja bukan kegiatan mencuci kendaraan yang menyebabkan hujan turun.
  • “Setelah presiden X terpilih, ekonomi negara kita langsung bagus!” Kesimpulannya tentu saja bukan presiden X yang menyebabkan kondisi ekonomi langsung membaik, tetapi ada banyak faktor yang berkontribusi di dalamnya, seperti kebijakan sebelumnya, kondisi pasar global, dan siklus ekonomi.

🌻

Sebenarnya ada beberapa hal yang bisa membantu kita untuk lebih ‘imun’ terhadap kekeliruan berpikir post hoc ergo propter hoc ini:

Pertama, menyadari bahwa korelasi tidak berarti kausalitas. Kita perlu mencari bukti yang menjelaskan sebab sesuatu terjadi. Selain itu, memikirkan penjelasan alternatif juga diperlukan, “Apakah ada faktor lain yang menyebabkan hal ini?”

Kedua, segala sesuatu ada konteksnya. Kita harus memahami konteks dari hal yang terjadi. Faktor-faktor eksternal bisa saja mempengaruhi sesuatu, dan ini perlu dicermati sebelum mengambil kesimpulan.

Ketiga, kita perlu mengetahui pendapat ahli. Asupan berupa analisis para ahli dan penelitian berbasis metode ilmiah sangat diperlukan untuk membantu kita menyimpulkan dengan lebih berdasar dan mantap.

☘️ ☘️ ☘️

Saya menulis ini untuk menjadi pengingat bagi diriku sendiri agar lebih cermat dalam membuat kesimpulan. Semoga bermanfaat juga untuk kalian. Dan ingat, apabila kamu merasa sedikit pusing setelah membaca postingan ini, bukan berarti postingan ini yang membuatmu pusing. 😂

Post hoc ergo propter hoc.

Salam,

Paulinus Pandiangan

Melepaskan Keterikatan dari Ego

Jujur saja ini topik yang berat dan saya tidak sedang mengklaim diri saya sebagai orang yang memiliki pemahaman yang mendalam tentang ego dan bagaimana melepaskan kemelekatan dengan ego itu sendiri. Tulisan ini dimaksud hanya sebagai ‘rekaman’ dari apa yang setidaknya berhasil saya ‘tangkap’ dari beberapa sumber (buku, podcast, dan video) yang berbicara tentang ego.

Lalu apa yang kiranya bisa dilakukan untuk melepaskan kemelekatan dari ego kita sendiri?

Pertama: Mengamati pikiran. Menyadari apa yang tengah dipikirkan menjadi langkah awal, terlebih untuk pikiran-pikiran yang cenderung tidak positif. Kita sebenarnya memiliki kemampuan untuk menjadi pengamat (observer) pikiran-pikiran kita sendiri. Ini sesuatu yang bisa dilatih. Sebagai contoh, misalnya kita sedang mengkritik diri kita sendiri. Apabila pikiran ini berulang terus menerus, pada akhirnya kita akan menyadari, “Hmm, tampaknya pikiran ini selalu muncul lagi dan lagi hampir setiap hari tanpa benar-benar saya sadari sebelumnya.”

Lalu kedua: Membedakan antara ‘bisikan’ ego dan situasi yang sebenarnya. Misalnya kita sedang berada di barisan antrian. Akibat lama menunggu, kita menjadi tidak sabar dan menggerutu dalam hati. Lalu timbul sebuah pikiran, “Ini hanya membuang-buang waktu saja!”. Pikiran semacam itu sebenarnya adalah suara ego kita sendiri. Situasi yang sebenarnya terjadi adalah bahwa benar ada antrian, tetapi kita tetap bisa menikmati suasana antrian itu dengan berpikir, “Saya sedang antri. Tidak mengapa. Toh, situasi ini tidak dalam kendali saya. Mengapa saya tidak mencoba menarik nafas dalam-dalam dan mulai menikmati antrian ini?”

Ilustrasi ego yang ‘membebani’ kita sendiri.

Ketiga: Munculkan kesadaran ke permukaan. Ketika kita sudah bisa membedakan ‘bisikan’ ego dan situasi yang sebenarnya, di situlah bermulanya kesadaran (awakening). Setelah itu, bisa saja kita dipengaruhi ego lagi, tetapi secara perlahan kesadaran itu akan semakin menguat dan secara perlahan pula pikiran-pikiran yang mengganggu akan semakin meredup. Ego tidak pernah menginginkan perubahan, dan proses untuk sampai pada kesadaran ini biasanya terjadi perlahan.

Keempat: Lepaskan narasi-narasi dalam pikiran yang menghalangi kita untuk berbuat. Ketika misalnya seseorang kehilangan pekerjaan, dia tak lantas mengutuk dirinya. Dia bisa menggambarkan keadaannya dengan, “OK, saya sedang tidak memiliki pekerjaan saat ini. Yang harus saya lakukan adalah segera mencari pekerjaan.”

Kelima: Buang jauh semua pikiran yang semakin ‘melemahkan’ kita sendiri. Saat bangun di pagi hari dan tiba-tiba hujan lebat, kita bisa mengubah pikiran, “Ini awal hari yang buruk!” menjadi pikiran yang bersyukur. “Ternyata di luar tidak begitu buruk. Langit di saat hujan juga tetap bisa dinikmati.” Saat itu dilakukan secara sadar dalam pikiran, kita akan terbebas dari “belenggu” ego. Kita tidak lagi ‘melapisi’ realitas dengan pikiran kita yang tidak positif, justru kita bisa menikmati sebuah situasi yang kita kutuk sebelumnya.

Menjabarkan ini dalam tulisan tentu jauh lebih mudah dari melakukannya. Semoga kita menjadi manusia yang semakin berkesadaran dan tidak terkungkung dalam ‘bisikan’ ego yang malah menghalangi kita untuk lebih baik lagi.

Kontemplasi, Kebiasaan Unik Para Tokoh Hebat

Satu sisi unik dari kebanyakan tokoh-tokoh hebat yang tidak banyak disebutkan dalam publikasi mengenai diri mereka adalah kontemplatif. Most of them, if not all, are involved in deep prayer and contemplation on a daily basis. Mereka memiliki kualitas untuk terhubung sangat erat dengan Tuhan; dan banyak dari antara mereka yang (bahkan) menghabiskan waktu berjam-jam berkontemplasi!

Sebut saja misalnya Albert Einstein, yang barangkali tidak secara umum dikenal sebagai orang yang religius, tetapi dalam berbagai kesempatan selalu mengungkapkan rasa takjub akan alam semesta dan sangat suka berefleksi tentang Sang Ilahi. Contoh lain misalnya Blaise Pascal, filsuf sekaligus ilmuwan Prancis yang sangat terkenal itu. Bahkan tulisannya yang sangat terkenal, “Pensées,” sebenarnya berisi hasil refleksi dan pengalaman religiusnya terkait iman dan ilmu pengetahuan. Lalu ada Bunda Teresa dari India, yang bisa menghabiskan waktu berjam-jam berdoa sambil merenungkan kitab suci, atau Santa Teresa dari Ávila, Spanyol, yang sangat suka berdoa dan dikenal sangat lembut tetapi sangat disiplin dalam menjaga rutinitasnya untuk berdoa. Pemikiran-pemikirannya yang dituangkan dalam bukunya yang terkenal itu, “The Interior Castle” dinilai berkontribusi sangat positif memperkaya iman Katolik. Dan masih panjang deretan orang-orang hebat lainnya, seperti Gregor Mendel, imam Katolik pencetus ilmu genetika, Georges Lemaître, pencetus teori Big Bang, Athanasius Kircher, imam Jesuit yang dikenal memberi banyak sumbangan pemikiran tentang magnetisme, Roger Bacon, yang mengembangkan metode saintifik dan menyumbangkan banyak pemikiran tentang optik, dan seterusnya…

Sekilas berkontemplasi ini tampak seperti sebuah aktivitas pasif, dimana tidak ada pencapaian nyata yang bisa dilihat dan diukur menurut metriks produktivitas. Akan tetapi pada hakikatnya kontemplasi menunjukkan keaktifan untuk menerima Tuhan, membiarkan Tuhan berbicara dan berkarya melalui diri. To let God be God. Inilah sebuah kekuatan yang tidak banyak orang yang menyadarinya; dan inilah yang membedakan orang-orang besar dengan orang-orang biasa seperti kita-kita ini, hahaha… 😂

So, in regard to that, I would say that your greatness is not so much about your intelligence and practical abilities. Of course, those are important too, but the most important thing is actually your willingness to let God work through you. It’s through your humility that you allow yourself to be a channel for God’s work.

And it’s only possible if you put yourself in deep prayer and contemplation, as those great folks in history have proven time and again. After all, He is the only true source of all greatness, right? 😉

☘️ ☘️ ☘️

Take Things with A Grain of Salt

Barangkali salah satu nasihat kehidupan terbaik adalah “Always take things with a grain of salt“. “Take things with a grain of salt” atau “Take things with a pinch of salt” bermakna bahwa kita sebaiknya menyikapi sebuah pernyataan atau informasi dengan sikap skeptis dan kritis. Kita sebaiknya tidak mempercayai sebuah informasi sebagai sebuah kebenaran utuh begitu saja. Kita perlu mempertanyakan akurasi dari sebuah informasi, mempertimbangkan bahwa ada potensi bahwa bisa saja ada elemen informasi yang dibesar-besarkan dan ada bias di dalamnya. Dengan kata lain, diperlukan kehati-hatian dalam menyikapi informasi, yang barangkali tidak sepenuhnya akurat atau benar.

Hal ini bisa diaplikasikan saat kita:

Mengakses berita dari media. Berita di era ini tersaji dengan cepat dan dimutakhirkan dengan cepat pula. Efeknya adalah kita sebagai konsumen informasi menjadi sangat mudah untuk diombang-ambingkan oleh pelaporan yang bias. Kita bisa mengecek ulang sumber informasinya, melihat apakah saluran berita tersebut memiliki reputasi yang baik, dan sadar akan potensi bias dalam pelaporan berita.

Menggunakan media sosial. Aplikasi media sosial penuh dengan opini, rumor, dan informasi yang keliru. Apabila kita tidak cermat menyikapi sebuah informasi, dan langsung membagikan sebuah informasi tanpa bersikap kritis, maka informasi yang keliru itu bisa menyebar dengan sangat cepat. Perlu kita mengecek kredibilitas sumber informasi dan mengecek ulang fakta yang disampaikan. Berpikir kritis menjadi sangat esensial dalam menyikapi setiap potongan informasi di media sosial.

Berinteraksi secara personal dengan orang lain. Informasi yang sampai ke telinga kita bisa berupa sepotong gosip atau saran dari seorang teman. Semua bentuk informasi ini juga harus dicermati, karena bisa saja kebenarannya masih bisa dipertanyakan. Perspektif semua orang sangat tergantung dari pengalaman dan bias kognitif mereka, sehingga sangat perlu kita cermat mendengarkan, tetapi di saat yang sama mengevaluasi konteks dan motif tersembunyi dari apa yang mereka sampaikan.

Apa manfaat dari mindset skeptis seperti ini?

Pertama, kita akan terlatih berpikir kritis. Ini adalah sebuah kemampuan yang harus terus dilatih, terutama di era saat ini dimana informasi terlalu banyak. Menelan informasi secara utuh tanpa dicerna terlebih dulu bisa membawa dampak yang signifikan, bagi diri sendiri dan juga bagi komunitas dimana kita berada.

Kedua, kita akan terlindung dari misinformasi. Informasi keliru sangat banyak tersebar dewasa ini, sehingga bersikap skeptis secara berimbang akan melindungi kita dari kemungkinan menjadi ‘korban’ propaganda dan kekeliruan.

Ketiga, kita akan memiliki perspektif berimbang, karena kita meninjau informasi tidak hanya dari satu sisi saja. Kita bisa memahami nuansa dari sebuah informasi dan isu-isu kompleks yang terkandung di dalamnya, sehingga opini yang lahir dari benak kita adalah opini yang berdasarkan asupan informasi yang berimbang.

Lalu bagaimana caranya kita bisa memiliki mindset skeptis (baca: kritis) ini?

Kita bisa mengedukasi diri kita sendiri. Pernah mendengar ungkapan “Education is self-education“? Kita bisa mempelajari kekeliruan logika dan bias kognitif secara mandiri dari sumber-sumber yang kredibel untuk memahami bagaimana sebenarnya mekanisme otak kita memproses informasi, memahami potensi untuk bias yang ada dalam semua orang. Memahami ini akan sangat membantu kita mengenali argumen-argumen dan informasi yang keliru dalam kehidupan sehari-hari.

Mendiversifikasi sumber informasi juga adalah langkah yang baik. Tidak terpaku hanya pada satu sumber informasi saja, dan mencoba melihat sebuah informasi yang sama dari beragam sumber. Biasanya ini akan membantu kita ‘melihat’ sesuatu secara lebih utuh dan berimbang, sehingga bisa menyelamatkan kita dari bias konfirmasi, misalnya.

Lalu, bertanya secara kritis. Kita bisa mempertanyakan sumber informasi, tujuan informasi ini disebarkan, dan konteks sebuah informasi. Siapa yang menyediakan informasi tersebut, dan mengapa? Bukti-bukti pendukungnya apa saja? Kalau kita mau sedikit menggali lebih dalam sebuah informasi, kita akan lebih objektif memandang sebuah informasi dan selanjutnya bisa membangun opini yang lebih kaya dan ‘sehat’.

☘️ ☘️ ☘️

Dengan melatih diri untuk tetap kritis dalam menyikapi informasi, kiranya kita akan mampu mengarungi kompleksitas kehidupan modern saat ini dengan lebih percaya diri. Tak semua informasi yang beredar adalah informasi yang benar-benar kita butuhkan. Kalau kita bisa menelaah informasi apa saja yang kiranya bermanfaat bagi kita dan bagi komunitas dimana kita berada, kita bisa membangun perspektif yang lebih sehat, untuk kita sendiri dan setidak-tidaknya untuk lingkar terkecil yang paling dekat dengan kita. 😊

Salam,

Paulinus Pandiangan

Cara Melihat Orang Positif

Saya senang memperhatikan orang lain ketika mereka berinteraksi. Observing people is one of my things. Dari pengamatan saya, kiranya saya mempunyai beberapa indikasi praktis yang bisa diperhatikan dari orang lain saat mereka berinteraksi untuk mengetahui seberapa positif mereka. Tentu saja indikasi-indikasi ini bukan ukuran pasti, tetapi lebih menunjukkan kecenderungan; apakah ia lebih positif atau sebaliknya.

Berikut 5 indikasi praktis yang bisa diamati saat kita berinteraksi dengan orang lain:

Pertama, perhatikan bagaimana dia menyapa orang lain. Orang yang positif akan menunjukkan rasa hormat yang tidak dibuat-buat ketika ia menyapa. Pancaran mata dan sikap yang natural akan menunjukkan apakah seseorang sungguh menghormati orang yang ia sapa.

Kedua, isi pembicaraannya. Kecenderungan membicarakan urusan pribadi orang lain (gossiping) jelas-jelas menunjukkan bahwa orang tersebut cenderung tidak positif. Orang positif akan cenderung membicarakan gagasan-gagasan yang baginya menarik.

Ketiga, tidak mendominasi pembicaraan. Dengan rendah hati ia akan memberikan ruang (space) seluas-luasnya kepada orang lain untuk berbicara, dan ia akan dengan cermat memperhatikan. Memberikan “undivided attention” juga adalah penanda khas orang-orang positif.

Keempat, perilaku sopan. Akan sangat alami terdengar dari bibir mereka kata-kata seperti “terimakasih” , “maaf” , “permisi” , dan “tolong” . Mereka sangat memahami bahwa kata-kata ini memiliki daya untuk mengubah suasana pembicaraan menjadi lebih konstruktif dan ‘berbuah’.

Kelima, tidak merendahkan orang lain, baik dari perkataan maupun dari sikap fisik. Ada orang yang dari tatapannya saja terkesan merendahkan orang lain (condescending gaze), dan itu akan terbaca lawan bicara. Dampaknya adalah interaksi menjadi tidak nyaman dan pasti tidak menyenangkan.

☘️ ☘️ ☘️

Intinya adalah bahwa orang positif benar-benar menghormati orang lain, dan sikap hormat ini sudah menjadi bagian dari karakter mereka karena acap dilatih.

Kamu setuju dengan kelima indikasi ini? 😘

Menikmati Hari Ini

Bagaimana menikmati hari ini dengan cara-cara yang mudah dan sederhana?

Ini sebuah pertanyaan penting yang, bisa saja luput dari perhatian kita, apabila kita ‘terjebak’ dalam rutinitas sehari-hari. Ada tuntutan pekerjaan yang harus dituntaskan, misalnya, yang menyerap perhatian kita, sehingga membuat kita lupa untuk sedikit menikmati anugerah kehidupan ini. Dunia bergerak cepat, dan banyak hal yang bisa merampas waktu dan perhatian kita, apabila kita tidak benar-benar berkesadaran tentang apa yang sebenarnya mendasar dan penting.

Triknya ternyata terletak pada memberi perhatian pada hal-hal kecil, pada pilihan-pilihan praktis yang bisa diambil. Menikmati anugerah kehidupan adalah perihal menemukan kegembiraan dalam hal-hal sederhana yang seringkali terabaikan, seperti sejenak membiarkan diri menikmati sinar matahari, mendengarkan musik kesukaan, atau bahkan sekedar membiarkan diri untuk sesaat tidak melakukan apa pun yang produktif.

Dan berikut beberapa langkah praktis yang bisa dilakukan semua orang:

  1. Awali dengan bersyukur

Cara paling sederhana untuk ‘menyuntikkan’ atmosfer positif dalam hidup kita adalah dengan bersyukur. Segera setelah bangun tidur, kita bisa bersyukur atas kesehatan, atas kasur yang nyaman yang membantu kita terlelap sepanjang malam, atas udara segar yang masih bisa kita hirup. Praktik sederhana seperti ini (barangkali) tidak akan terlihat signifikan saat kita melakukannya, akan tetapi secara kumulatif ini akan berdampak: membantu kita berfokus pada apa yang sudah ada, dan bukan pada apa yang masih kurang.

  1. Nikmati ritual pagimu

Kita bisa bangun lebih awal secara teratur agar kita tidak terburu-buru mengerjakan rutinitas pagi. Terkadang memang kita tidak selalu bisa bangun pagi tepat waktu, karena barangkali malam harinya kita tidur lebih telat dari biasanya, atau bisa saja cuaca mempengaruhi kita untuk merebahkan diri sedikit lebih lama. Tetapi apa pun kondisinya, kita bisa mencoba untuk tetap tenang di awal hari, agar bisa sungguh-sungguh menikmati awal hari yang baru. Menikmati kopi dan sarapan pagi dengan terburu-buru tentu sangat tidak menyenangkan. Maka perlu kita mengkondisikan diri agar momen-momen kecil namun berharga seperti ini tidak terlewatkan begitu saja. Spend a few extra minutes in these things.

  1. Cobalah bergerak

Aktivitas fisik telah terbukti sangat berdampak memperbaiki mood kita. Ada penelitian yang telah membuktikan ini. Maka menyediakan waktu untuk bergerak, sesederhana berjalan kaki sekurang-kurangnya 15 menit dalam sehari, atau melakukan kegiatan olahraga yang kita suka, akan secara signifikan memperbaiki mood dan level energi kita. Juga, kegiatan fisik seperti ini bisa menjadi semacam ‘mental break‘ dari rutinitas.

  1. Terhubung dengan orang lain

Hubungan antar manusia sangat vital dalam menunjang kebahagiaan kita. Penelitian 80 tahunan lebih yang dilakukan universitas Harvard telah membuktikan bahwa prediktor kebahagiaan seseorang tidak terletak pada status sosial, kekayaan, atau popularitas, tetapi pada kualitas relasi yang dimiliki orang tersebut dengan orang-orang lain di sekitarnya.

  1. Lakukan hobimu

Sisihkan waktu setiap hari untuk mengerjakan hal yang menyenangkan bagi kita, entah itu membaca novel, mengurus taman, melukis, atau memainkan alat musik. Mengerjakan hal yang menyenangkan biasanya bisa membuat kita lupa waktu sejenak, dan ini akan menyegarkan otak kita juga, sehingga kondisi mental kita akan lebih siap untuk menjalankan tanggung jawab kita, entah itu terkait pekerjaan atau sekolah.

  1. Mempraktikkan mindfulness

Mindfulness adalah seni untuk berkesadaran. Ini bisa dilakukan dengan meditasi atau latihan pernafasan, atau sekedar memberikan sedikit waktu untuk mengamati sekeliling kita. Kita berusaha untuk benar-benar sadar saat ini, apa pun yang sedang kita alami dan lakukan. Penelitian pun telah memvalidasi bahwa praktik ini membantu mengurangi stress dan meningkatkan kepuasan hidup. Praktik ini juga membantu kita untuk hidup lebih lambat dan bisa lebih mengapresiasi hal-hal indah dan baik dalam hidup.

  1. Lakukan refleksi positif

Saya menyadari bahwa sebagai seorang introvert dengan tipe INFJ-A, kecenderungan untuk pesimis lebih besar daripada optimis. Terkadang setelah membaca fakta-fakta di sekitar, saya biasanya cenderung menjadi pesimis. Tetapi berupaya untuk melihat hal-hal baik dalam hidup tentu juga penting, dan saya menyadari bahwa saya pun harus berupaya ‘mengimbangi’ kecenderungan untuk pesimis dengan ‘menyuplai’ otak saya dengan hal-hal positif, sekecil dan sesederhana apa pun itu.

Ada orang yang suka melakukan ini dengan menjurnal. Ada juga yang lebih suka mengingat-ingat sesaat sebelum tidur. Intinya adalah mencoba menyadari bahwa walaupun hidup penuh dengan hal-hal yang di luar harapan, atau tidak menyenangkan, tetap ada hal-hal baik yang sangat pantas disyukuri. Dalam jangka panjang ini akan membantu kita juga untuk lebih berpengharapan dalam hidup. Kita bisa lebih positif menatap masa depan, walaupun tentu saja masa depan penuh ketidakpastian.

Rasanya kalau kita bisa menerapkan hal-hal sederhana ini dalam hidup, kita bisa mengalami sebuah kehidupan yang lebih bermakna. Kita perlu menyadari bahwa sukacita seringkali ditemukan bukan dalam hal-hal besar dan fantastis, tetapi justru dalam momen-momen kecil yang terselip dalam perjalanan kehidupan setiap hari. Semuanya tergantung kepada kita apakah kita bisa mengapreasiasi hal-hal kecil ini untuk akhirnya menjadi landasan kebahagiaan kita.

Mari kita menghargai saat ini. Hari ini. Mari membuat hari ini menyenangkan, walau banyak tantangan. Tersenyumlah. 😊 🌷

“Man in the Car” Paradox

One particular concept that stands out in Morgan Housel’s The Psychology of Money is the “Man in the Car Paradox.” This paradox encapsulates the complex relationship between wealth, perception, and happiness. Let’s delve into the nuances of this paradox, but first, what is it all about?

Imagine driving past a person in a luxury car, envying their apparent wealth and success. However, what you don’t see is the financial stress, debt, or dissatisfaction that may accompany the owner of the luxury car. Meanwhile, the person driving a modest vehicle may be content, financially secure, and free from the burden of excessive consumption. The individual inside the car may be biased, thinking of themselves as cool and successful, when in reality, as the observer, you might imagine yourself driving the car, considering how cool and successful you would be.

Some key insights from this paradox are as follows:

  1. Relative Wealth vs. Absolute Wealth: Housel highlights the distinction between relative wealth (comparing oneself to others) and absolute wealth (financial security and peace of mind). The “Man in the Car Paradox” underscores that true wealth lies in achieving financial independence and contentment, rather than merely outpacing others in material possessions.
  2. The Illusion of Happiness: Society often equates wealth with happiness, leading individuals to pursue materialistic goals relentlessly. However, the paradox reveals that external markers of success may not always correlate with genuine fulfillment. Studies suggest that happiness derived from possessions is fleeting and often overshadowed by financial insecurity or comparison with others.
  3. The Importance of Perspective: The paradox emphasizes the significance of perspective in shaping our attitudes towards wealth and well-being. By reframing our definition of success and embracing gratitude for what we have, we can cultivate a more fulfilling and sustainable approach to money management.

What can we do about it?

Understanding the “Man in the Car Paradox” can profoundly influence our approach to personal finance. Instead of chasing superficial symbols of success, focus on building financial resilience, pursuing meaningful experiences, and nurturing relationships. Adopting a mindset of abundance and gratitude can lead to greater satisfaction and contentment, irrespective of one’s financial status. And that’s what truly matters in the end.

Practical Things We Can Do:

  • Prioritize financial goals based on personal values and long-term aspirations.
  • Practice mindful spending and differentiate between wants and needs.
  • Cultivate gratitude through regular reflection on life’s blessings.
  • Invest in experiences, relationships, and personal development rather than material possessions.
  • Embrace frugality as a means to achieve financial freedom and flexibility. I should emphasize though that this lifestyle is not for everybody.

☘️ ☘️ ☘️

The paradox serves as a poignant reminder that wealth is not merely a measure of material possessions but encompasses aspects of financial security, contentment, and perspective. By redefining our relationship with money and prioritizing intrinsic values over extrinsic markers of success, we can navigate the complexities of personal finance with greater wisdom and fulfillment.

As Morgan Housel eloquently states, “Being rich is having money; being wealthy is having time.” True wealth is achievable if you choose to embrace financial prudence, gratitude, and a holistic approach to well-being. 🤩

Tentang Kausalitas Yang Keliru

Di pulau Hebrida, yang secara geografis berada di utara Skotlandia, konon kutu di kepala dianggap sesuatu yang harus dipelihara. Mereka berpendapat bahwa kalau induk kutu dibasmi, orang tersebut akan demam. Maka, untuk menyembuhkan demam, orang malah dengan sengaja menaruh induk kutu di kepala orang tersebut. Menurut mereka, setelah kutu dikembalikan ke orang tersebut, kondisinya akan membaik.

Di tempat lain, ada juga orang yang meyakini bahwa semakin banyak petugas pemadam yang terlibat dalam proses pemadaman api, maka kerusakan akibat kebakaran tersebut akan semakin besar. Kepala daerahnya bahkan sampai memotong anggaran petugas pemadam kebakaran akibat pola pikir ini.

Kita mungkin tersenyum membaca kedua cerita di atas, tetapi kekeliruan berpikir yang tersirat di dalamnyakausalitas palsu (false causality)sesungguhnya umum terjadi (bahkan) di kehidupan modern sekarang ini. Dari kedua cerita di atas kita tahu bahwa sebenarnya kutu meninggalkan inangnya yang demam karena permukaan kulitnya menjadi hangat, sehingga kutu tidak nyaman, dan bahwa jumlah petugas pemadam justru ditambah karena memang sebaran apinya membesar.

Contoh-contoh lainnya sangat mudah ditemukan dalam kehidupan terkini. Misalnya saat kita membaca artikel berjudulkan ‘Dampak Motivasi Karyawan Terhadap Meningkatnya Keuntungan Perusahaan’ . Kausalitas yang tersirat pada judul ini tentu bisa dipertanyakan. Apa memang demikian? Bisa jadi orang menjadi termotivasi justru karena perusahaan sedang dalam kondisi baik.

Atau saat orang-orang begitu mendewakan Alan Greenspan, kepala bank sentral Amerika pada periode 1987 – 2006. Mereka beranggapan bahwa kebijakan-kebijakan moneter Greenspan membuat ekonomi Amerika aman. Penjelasan yang lebih masuk akal sebenarnya adalah bahwa Alan Greenspan hanya beruntung bahwa ekonomi sedang berada dalam kondisi baik saat ia menjabat. Simbiosis Amerika dengan China saat itu memainkan peran penting dalam menjaga kestabilan ekonomi. Tentu berbeda dengan situasi sekarang.

Contoh lain: iklan shampoo. Dipromosikan dengan gencar bahwa shampoo tertentu (katakan saja merk Z) akan membuat rambut lebih kuat, dan secara statistik telah terbukti dengan angka-angka. Yang terjadi adalah bahwa orang-orang tersebut memakai shampoo merk Z justru karena di kemasannya tertulis “khusus untuk rambut tebal”.

Dari pola-pola yang berulang ini kita bisa ‘menangkap’ kekeliruan berpikir dalam beraneka hal lain, misalnya:

  • Jumlah buku yang ada di rumah siswa akan membuat skor akademiknya lebih bagus. Yang terjadi adalah orang tua yang terdidik menyediakan lebih banyak buku di rumahnya, dan gen orangtua yang terdidik dengan baik akan menurun kepada anaknya (yang kemungkinan besar akan meraih skor akademik yang baik).
  • Lamanya pasien dirawat di rumah sakit akan memberikan dampak buruk kepada pasien bersangkutan. Yang terjadi adalah bahwa pasien yang lebih cepat akan dipulangkan lebih cepat dari rumah sakit dan tidak ada yang salah dengan waktu perawatan yang lama untuk pasien yang memang membutuhkannya.
  • Berasumsi bahwa kucing hitam yang berpapasan dengan kita di jalan menjadi penyebab kesialan. Yang lebih masuk akal adalah bahwa pengalaman sial dan bertemu kucing hitam adalah dua hal yang terjadi dalam rentang waktu yang berdekatan, akan tetapi tidak terhubung sebab akibat.

Kesimpulannya adalah: korelasi tidak berarti kausalitas. Seringkali hubungan sebab akibat diterjemahkan terbalik (sebab menjadi akibat, seperti contoh di atas 👆). Dan terkadang dua kejadian yang terjadi bersamaan memang tidak berhubungan sama sekali.

Click to listen highlighted text!