Selamat datang di blog Paulinus Pandiangan. Semoga kamu menemukan sesuatu yang berguna.   Click to listen highlighted text! Selamat datang di blog Paulinus Pandiangan. Semoga kamu menemukan sesuatu yang berguna.

6 Prinsip Stoik untuk Kecerdasan Emosional

Saya mulai intens mempelajari filsafat praktis stoisisme sesaat sebelum pandemi COVID 19, meskipun memang sebelum itu sudah terekspos dengan ide-ide tentang dikotomi kendali dan mencintai takdir, yang adalah 2 prinsip dasar filsafat ini. Seiring waktu saya semakin yakin bahwa prinsip-prinsip dasar stoisisme sangat relevan untuk diterapkan dalam kehidupan dewasa ini. Berikut saya sarikan 6 (enam) prinsip yang kiranya bisa membantu kita mengarungi kehidupan.

Pertama: Berfokuslah pada apa yang bisa dikendalikan

Misalnya kita terjebak kemacetan. Alih-alih mengeluhkan situasi, kita sebenarnya bisa menggunakan waktu yang tersedia dengan lebih positif dan produktif, misalnya menggunakannya untuk mendengarkan podcast, menghubungi orang terkasih (untuk menceritakan bahwa kita terjebak macet, hahaha… ), atau untuk merefleksikan sesuatu (contemplatio).

Menerima alur alamiah hidup dengan pikiran terbukabahwa kita bisa saja terjebak macet seperti orang-orang lainakan membuat mental kita lebih tangguh, tidak reaktif, dan kita bisa membuat sebuah suasana menjadi lebih ‘dingin’ dan tetap bisa dinikmati.

Kedua: Biasakan bersyukur

Mengalami hari yang buruk adalah sesuatu yang normal. Semua orang pernah mengalaminya. Tetapi orang bisa bereaksi secara berbeda.

Kita (sebenarnya) memiliki kemampuan untuk mengalihkan fokus dengan menyadari hal-hal baik yang terjadi di sekitar kita, walaupun hari itu terasa kurang menyenangkan. I know it’s hard, but still, it’s doable. Kita bisa mensyukuri hal-hal kecil di sekitar kita, misalnya aroma kopi yang masih bisa kita nikmati di pagi hari, atau senyuman tulus dari seorang teman di tempat kerja. It all comes down to noticing the little things.

Ketiga: Menyadari kematian

Sesering mungkin ingatkanlah diri bahwa hidup ini ada batasnya. Kita tidak akan hidup selamanya. Kesadaran akan kematian akan memacu kita untuk tidak menunda segala hal baik yang ingin dilakukan bersama orang-orang terkasih.

Menyadari kematian sangat membantu kita berfokus pada apa yang benar-benar penting dalam hidup. Perspektif kita akan berubah, juga prioritas hidup.

Keempat: Bersahabat dengan ketidaknyamanan

Keluar dari zona nyaman tentu tidak mudah. Tetapi kalau kita berani bersahabat dengan ketidaknyamanan, kita bisa menjadi pribadi yang lebih kuat. Rayakan kesuksesan-kesuksesan kecil, dan tetap berupaya untuk menjadi lebih baik lagi.

Kelima: Memaafkan dan melepaskan

Ketika kita disalip pengendara lain di jalan raya, misalnya, tak perlu kita marah-marah. Kita bisa menahan keinginan untuk marah dan melanjutkan kehidupan. Kita bisa menanamkan afirmasi, “Hari ini saya akan berusaha memaafkan semua orang atas semua yang mereka lakukan, dan melanjutkan kehidupan saya melakukan apa yang penting dan berguna.”

Again, I know it’s damn tough.

Keenam: Melakukan kebajikan

Melakukan apa yang benar seringkali tidak mudah. Hidup dengan integritas memang akan sulit, akan tetapi buahnya adalah sebuah karakter diri yang unggul. Kita biasanya akan sangat menghormati orang-orang yang berintegritas tinggi, yang memiliki standar moral yang jelas. Maka orang lain pun akan menghormati kita dan menaruh kepercayaan penuh apabila kita berhasil menjadi pribadi yang berintegritas.

🌻

Walking the Lonely Road

Let’s face it. We can’t expect to be loved or understood by everyone. In fact, we should be prepared for misunderstanding or disapproval. But we shouldn’t be troubled by what other people say about us when we’re away. As a matter of fact, no one who ever did anything novel did it without criticism. People will cast doubt on you. Nevertheless, we have to cultivate our own strong sense of values and virtue. We have to be who we are.

It would be wonderful if people were admired for doing the right thing. But in this life, things don’t always go our way. Morally upright people don’t always get the rewards they deserve. That is how things have always been and will continue to be. People like Cato, Socrates, Diogenes, and many other virtuous figures in history were not really appreciated during their lifetime. Most of them were hated. Some were even sentenced to death.

So, the moment you’re embracing your journey towards virtue and wisdom, know that you are walking a lonely road. Get used to judgmental eyes. Acknowledge the skepticism and critiques. Steel yourself against the jeers and attacks. Remind yourself all the time that being true to yourself is what truly matters.

This might sound challenging, even frightening. But the journey is worthwhile. We’re born for a mission, and in many cases, this mission requires us to choose a different pathway—the road less traveled. I know it’s hard. But this is life. We have to be who we are. Embrace the journey. Who knows, maybe it will lead to something lovely! 😍

☘️ ☘️ ☘️

"To be yourself in a world that is constantly trying to make you something else is the greatest accomplishment."Ralph Waldo Emerson

The Happiness Paradox

Have you ever noticed that the harder you try to be happy, the further it seems to slip away? It’s like chasing butterfliesthe more you pursue them, the flightier they become. This, my friends, is the paradox of happiness.

Imagine happiness as a beautiful wildflower. You can spend all day searching for the biggest, brightest bloom, but the truth is, happiness often thrives in unexpected places. It might be the warmth of sunlight on your face, the laughter shared with a loved one, or the quiet satisfaction of completing a task.

Here’s the twist: focusing solely on achieving happiness can backfire. It can make us:

  • Obsessive: We become fixated on external factors like material possessions or achieving certain goals, neglecting the simple joys in life.
  • Discontent: When we constantly chase after “more,” we fail to appreciate what we already have, leading to a feeling of dissatisfaction.
  • Pressured: The pressure to be happy can be overwhelming, creating anxiety and stress, which ironically, hinders our ability to actually experience happiness.

So, what’s the alternative?

The key lies in shifting our perspective. Instead of chasing a fleeting feeling, we should focus on living a meaningful life. This involves:

  • Finding purpose: What brings you a sense of fulfillment? It could be volunteering, pursuing a creative passion, or simply spending quality time with loved ones.
  • Practicing gratitude: Take a moment each day to appreciate the good things in your life, no matter how small. This simple act can significantly boost your mood.
  • Living in the present: Savor the experiences of the here and now, instead of dwelling on the past or worrying about the future.

Remember, happiness is not a destination, it’s a journey. Like the Chinese proverb says, “The journey of a thousand miles begins with a single step.” Take small steps each day towards living a meaningful life, and you’ll find that happiness naturally blossoms along the way.

Here are some inspiring quotes to ponder:

"Happiness is not something you pursue, it is something that comes as a byproduct of a life well lived."Eleanor Roosevelt
"Don't chase happiness, create it."Jim Rohn
"The purpose of life is not to be happy. It is to be useful, to be honorable, to be compassionate, to have it make some difference that you have lived and lived well."Ralph Waldo Emerson

So, the next time you find yourself chasing happiness, take a deep breath, shift your focus, and embrace the beautiful journey of life. You might be surprised by the happiness you find along the way. 😉

The Paradox of Choice

The Paradox of Choice by Barry Schwartz

The paradox of choice, popularized by psychologist Barry Schwartz in his book “The Paradox of Choice: Why More Is Less“, proposes a counterintuitive notion: having too many choices can actually be detrimental to our wellbeing and decision-making. Here’s the gist:

The Problem:

Imagine you’re buying jam. Back in the day, your local store might have offered 3-4 options. Today, you’re faced with dozens, each boasting unique flavors, ingredients, and claims. This abundance of choice might seem goodmore options to find your perfect match, right?

The Paradox:

However, studies show this abundance can backfire:

  • Analysis paralysis: With so many options, we spend more time analyzing, comparing, and doubting, leading to decision fatigue and inaction.
  • Regret and dissatisfaction: Choosing from many options increases the pressure of making the “right” decision, leading to fear of missing out (FOMO) and regret after choosing.
  • Lower satisfaction: We tend to compare our chosen option to all the “better” ones we didn’t choose, lowering our satisfaction with the actual choice.
Ali Abdaal on The Paradox of Choice

Think Maximizers vs. Satisficers:

Schwartz identifies two types of decision-makers:

  • Maximizers: Aim for the absolute “best” choice, constantly comparing and analyzing, leading to more stress and potential dissatisfaction.
  • Satisficers: Aim for a “good enough” choice that meets their needs, reducing analysis paralysis and fostering more contentment.

So, what to do?

  • Be mindful of your needs and values: Identify what truly matters in your decision, not just features or branding.
  • Set limits: Consider a smaller, curated selection of options based on your criteria.
  • Embrace satisficing: Don’t strive for the absolute perfect, aim for good enough and avoid decision fatigue.
  • Trust your gut: After research and consideration, go with your intuition and don’t dwell on what-ifs.
  • Remember, happiness is more than just choice: Focus on experiences, relationships, and personal growth for deeper fulfillment.

The paradox of choice reminds us that more isn’t always better. By making conscious choices and managing our decision-making process, we can navigate the abundance of options and find greater satisfaction in our lives.

Mark Manson on The Paradox of Choice

Some Quotes

The following are three quotes on my journal that I think worth-sharing.

I am a little pencil in the hand of a writing God who is sending a love letter to the world.

Mother Teresa of Calcutta

It is only with the heart that one can see rightly; what is essential is invisible to the eye.

Antoine de Saint-Exupery

Sometimes it’s the smallest decisions that can change your life forever.

Keri Russell

Tentang Persepsi dan Sikap Orang Lain

Aplikasi filsafat Stoikisme yang paling terasa dalam kehidupan pribadi saya adalah tentang menyikapi persepsi dan/atau sikap orang lain kepada kita. Ini adalah area dimana saya merasa filsafat ini menjadi sangat membantu karena ia mengajarkan tentang dikotomi kendali (yang juga telah saya tulis juga di Buku Kecil Stoikisme berformat PDF).

Sebelum saya memahami lingkup kendali, persepsi orang lain tentang diri saya adalah sesuatu yang banyak menyita pikiran. Apa kata orang? Bagaimana nantinya orang akan bersikap pada saya? dan semacamnya menjadi pertanyaan yang mengganggu. Saya menjadi mudah khawatir pada reaksi atau sikap orang lain, sesuatu yang sesungguhnya berada di luar kendali saya.

Setelah mengenal dan memahami lingkup kendali, saya menjadi semakin sadar bahwa ketenangan diri saya seharusnya tidak terganggu oleh persepsi dan/atau sikap orang lain, sepanjang saya telah berusaha menjadi pribadi yang baik. Pun kalau saya melakukan sebuah kesalahan, semua orang juga melakukan kesalahan, dan itu lumrah. Yang lebih penting adalah bagaimana selanjutnya saya menjalani kehidupan dan tetap tak patah semangat untuk memperbaiki diri, berubah perlahan namun pasti menjadi pribadi yang lebih baik dari saya yang sebelumnya. That’s what matters in the end.

Dan karena itu persepsi dan/atau sikap orang lain menjadi tidak relevan. Bagaimanapun baiknya sikap kita, akan tetap akan ada orang yang bereaksi negatif, dan orang yang tepat akan selalu mendukung kita untuk menjadi lebih baik. Jadi semuanya kembali pada intensi kita. Living with intention menjadi frase kunci di sini.

Saat ini, saya bersyukur bahwa kalau pun menyadari ada persepsi orang lain yang tidak tepat tentang diri saya, atau sikap orang lain yang negatif terhadap diri saya, saya sudah bisa segera menyadari bahwa itu adalah sesuatu yang di luar kendali saya, tidak bisa saya pengaruhi sepenuhnya, dan karena itu, tidak layak mengganggu ketenangan mental saya. Melepaskan keinginan untuk selalu baik di cerita orang lain adalah sesuatu yang membebaskan. I am free, whatever people think or say.

And you too are free.

Menjadi Stoik yang Gagal

Konotasi umum yang beredar terkait Stoikisme adalah bahwa menjadi Stoik berarti berhasil ‘menekan’ perasaan. Berlatih menjadi Stoik adalah berlatih untuk tidak menunjukkan perasaan.

Pernyataan kedua itu pada dasarnya ada benarnya. Orang-orang Stoik memang cenderung untuk tidak menunjukkan secara eksplisit perasaannya. Itulah pilihan sikap yang diambil dalam menghadapi setiap kejadian (event). Orang Stoik akan berfokus pada pilihan sikap yang diambilnya dalam setiap situasi, sehingga apa yang lebih terlihat adalah pilihan sikap atau tindakan mereka, bukan terutama ekspresi dari apa yang sedang dirasakan. Dengan kata lain, seorang Stoik adalah orang yang tetap bisa meneteskan air mata, akan tetapi lebih memilih untuk berfokus pada sikap / tindakan untuk menyikapi kesedihan yang membuatnya meneteskan air mata.

Ilustrasi Orang Stoik

Sangat sulit memisahkan antara emosi dengan pilihan sikap yang diambil seseorang dalam situasi tertentu. Entah bagaimana pun, faktor emosi tetaplah suatu faktor penting dalam perilaku manusia yang tidak bisa dihilangkan begitu saja, meskipun memang pengaruh emosi ini tetap bisa disikapi sedemikian dengan rasionalitas. Karena itu menjadi orang yang sepenuhnya Stoik (atau menjadi sage), menurut hemat saya, adalah suatu ideal yang sangat sulit untuk dicapai, atau bahkan tidak mungkin.

Karena itulah judul di atas muncul. Menjadi seorang Stoikyang gagal untuk sepenuhnya Stoikpun, sebenarnya, sudah bagus! Ketika Anda berhasil mengelola emosi dengan baik dan tidak larut terlalu dalam, dan mencoba untuk menggunakan rasio Anda untuk memikirkan reaksi yang sehat atas apa yang Anda alami, itu adalah jalan yang sulit. Tidak mudah untuk bangkit melampaui pengaruh emosi dan mencoba untuk rasional, apalagi ketika menghadapi suatu pengalaman pahit atau menyedihkan.

Bahkan di saat Anda gagal menjadi Stoik yang sepenuhnya pun, Anda tetap menjadi Stoik ketika berusaha bersikap tenang dan rasional dalam berbagai situasi. And that’s what matters more.

Bagaimana Menghormati Orang?

Bacaan singkat di buku A Calendar of Wisdom untuk tanggal 24 November ini berbicara perihal menghormati orang lain. Lalu bagaimana sebenarnya kita menghormati orang lain dalam kehidupan sehari-hari?

  • Memberikan pertolongan kepada orang lain, entah berupa dorongan fisik atau spiritual. Berhentilah untuk selalu menyalahkan orang lain dan hargailah martabatnya.
  • Kebaikan yang sesungguhnya bukanlah memberikan sisa kekayaan kepada orang miskin, tetapi ‘menempatkan’ orang lain dekat di hati kita.
  • Tidak mengucapkan fitnah atau kata-kata yang menyakiti hati orang lain.
  • Menjunjung kebenaran, mencegah kemarahan, memberikan pertolongan kepada yang membutuhkan.
  • Bersikap rendah hati dan selalu menyadari bahwa semua manusia rentan melakukan kesalahan, sehingga kita tidak mudah jatuh ke dalam godaan untuk menghakimi orang lain.

Soal Persepsi

Marcus Aurelius pernah menuliskan ini di jurnal pribadinyayang selanjutnya dikenal dengan Meditationsyang sebenarnya, menurut saya, menegaskan kembali prinsip dikotomi kendali yang diutarakan Epictetus,

Bukan hal atau kejadian di luar dirimu yang membuatmu terganggu, tapi nalarmu tentang hal atau kejadian itu, dan ketahuilah bahwa kamu bisa mengubah persepsimu saat itu juga.

Marcus Aurelius dalam Meditations

Franklin Delano Roosevelt adalah seorang pemimpin politik Amerika yang sangat tersohor. Polio yang dideritanya ketika berusia 39 tahunyang membuatnya harus menggunakan kursi rodajustru menjadi suatu elemen dalam kisah hidupnya yang membuatnya semakin dikenal sebagai pribadi yang kuat. Hal eksternal yang terjadi padanyapolio yang membuatnya menjadi cacattidak membuat karir dan kepribadiannya hancur, justru sebaliknya.

Bayangkan Anda berada dalam posisi Roosevelt. Karir politik Anda sedang cemerlang dan Anda sedang mempersiapkan diri (dan bahkan mengimpikan!) untuk menjadi presiden Amerika Serikat. Lalu, tiba-tiba kabar tak menyenangkan itu tiba. Dokter Anda mengatakan bahwa Anda terkena polio, hidup Anda tak akan pernah sama lagi dan harus menggunakan kursi roda sepanjang hidup Anda. Tentu Anda merasa down, bukan?

Franklin Delano Roosevelt juga pasti down ketika mendengar berita ini. Tetapi apa yang dia lakukan selanjutnya-lah yang membuat perbedaan. Dia menerima hal eksternal ini dan dia mengelola persepsinya tentang apa yang terjadi padanya, dan segera, dia menemukan kekuatan untuk tetap melanjutkan kehidupan. Fakta bahwa dia menjadi cacat tidak bisa dielakkan, harus diterima sebagai takdir. Dia melakukan amor fati. Penerimaan yang dia lakukan bukanlah pasrah, tetapi dia menjadikan fakta yang dialaminya sebagai sebuah bagian dari perjalanan kehidupan yang harus diterima, yang membuatnya sungguh sebagai pribadi seorang Franklin Delano Roosevelt.

Dan sejarah mencatatnya sebagai seorang pemimpin Amerika yang luar biasa.


Click to listen highlighted text!