Selamat datang di blog Paulinus Pandiangan. Semoga kamu menemukan sesuatu yang berguna.   Click to listen highlighted text! Selamat datang di blog Paulinus Pandiangan. Semoga kamu menemukan sesuatu yang berguna.

Memilih Pemimpin dengan Prinsip Stoikisme

"When casting your vote, remember that the true measure of a leader lies not in their rhetoric, but in their adherence to the principles of justice and virtue." — Epictetus

Menjelang pemilihan umum tanggal 14 Februari 2024 mendatang, saya tergelitik menulis sesuatu berdasarkan prinsip filsafat praktis Stoikisme yang saya pahami sejauh ini.

Filsafat Stoikisme adalah filsafat praktis yang mengajarkan laku hidup selaras dengan alam, dan salah satu bentuk nyatanya adalah menjadi warga negara yang baik. Seperti apakah kiranya warga negara yang baik itu? Dalam konteks pemilihan umum, menjadi warga negara yang baik tidak hanya berhenti pada persoalan menggunakan hak pilih (voting rights) yang dijamin dalam undang-undang, tetapi lebih dari itu, juga mempertimbangkan dengan matang dan berkomitmen memilih pemimpin yang menghidupi keutamaan-keutamaan (virtues) demi kemaslahatan orang banyak. Memilih pemimpin yang pantas dan baik adalah juga tanggungjawab moral warga negara.

Mari kita eksplorasi prinsip-prinsip Stoikisme yang kiranya bisa diaplikasikan dalam memilih pemimpin bangsa.

1. Kebajikan sebagai kriteria utama: Stoikisme mengajarkan kita untuk memprioritaskan kebajikan (virtues) di atas segalanya. Ketika mengevaluasi calon pemimpin potensial, pertimbangkanlah dengan baik karakternya, integritasnya, dan komitmennya pada prinsip-prinsip etika. Jangan hanya berhenti pada hal-hal yang tampak dari luar saja, tetapi lihatlah pula bagaimana kebijaksanaannya, bagaimana ia berlaku adil, keberaniannya, dan kemampuannya untuk mengendalikan diri. Keempat kebajikan ini (wisdom, courage, justice, temperance) adalah keutamaan-keutamaan yang sangat dijunjung tinggi dalam Stoikisme, dan rasa-rasanya kalau nilai-nilai ini bisa diejawantahkan dalam bentuk perilaku, maka orang yang menghidupinya tentu sangat pantas dijadikan sebagai pemimpin. Pilihlah pemimpin yang ‘menampakkan’ nilai-nilai ini secara konsisten, karena akan besar kemungkinan bahwa mereka akan memikirkan kepentingan orang banyak dan akan membuat keputusan-keputusan yang memihak rakyat.

2. Berfokus pada apa yang bisa kita kendalikan: Di tengah retorika politik dan janji-janji kampanye, sangat mudah untuk ‘hanyut’ dalam faktor-faktor eksternal yang di luar kendali kita. Stoikisme sebagai filsafat praktis mengingatkan kita untuk tetap berfokus pada apa yang ada dalam kendali kita: pikiran, tindakan, dan pilihan-pilihan sikap yang kita ambil. Ketimbang ‘tenggelam’ dalam berbagai ketidakpastian dalam lanskap perpolitikan, kita bisa mengerahkan energi untuk meriset kandidat, memahami cara berpikir mereka, dan secara kritis menganalisis kebijakan-kebijakan yang akan mereka luncurkan jika nantinya terpilih.

3. Praktikkan mempertimbangkan dengan cermat: Stoikisme sangat menekankan kita untuk senantiasa melatih diri membuat pertimbangan-pertimbangan cermat dalam semua aspek kehidupan. Ketika mengevaluasi kandidat, hindari membuat keputusan yang hanya berdasarkan emosi, bias, atau tekanan dari luar. Ambil waktu untuk mengumpulkan informasi, melihat bukti-bukti yang ada, dan menetapkan konsekuensi yang mungkin terjadi dari apa yang kita pilih (seperti layaknya praktik premeditatio malorum). Ingatlah bahwa tujuannya bukan untuk mendukung calon yang sempurna, tetapi memilih individu yang kiranya sejalan dengan nilai-nilai ideal Stoikisme dan yang berpotensi paling besar untuk memimpin dengan bijaksana dan berintegritas.

4. Terima hasil akhirnya: Dalam Stoikisme, menerima hal-hal eksternal adalah prinsip kunci. Ini dikenal dengan amor fati. Apa pun kiranya hasil pemilihan umum nantinya, berjuanglah untuk tetap menjaga ketenangan dan sikap ksatria. Pahamilah bahwa Anda telah menjalankan bagianmu sebagai seorang warga negara yang bertanggungjawab, dan hasil akhirnya berada di luar kendali kita. Apabila calon yang kita pilih ternyata tidak menang, berfokuslah pada kontribusi positif yang bisa kita sumbangkan untuk masyarakat, dimulai dari lingkaran terkecil kita, sembari tetap memegang teguh prinsip-prinsip Stoikisme yang kita yakini. Para guru Stoik juga mengajarkan bahwa situasi yang tidak sesuai harapan sekalipun bisa menjadi arena untuk belajar nilai-nilai dan bertumbuh. Pun kalau kandidat yang kita dukung menang, kita tidak lantas berdiam diri setelah pemilihan usai. Kita harus terlibat dalam menjaga orang-orang yang terpilih tetap akuntabel, dengan tetap memegang teguh prinsip-prinsip keutamaan yang 4 tadi.

Intinya, menerapkan prinsip-prinsip Stoikisme dalam memilih pemimpin dalam pemilihan umum bisa membantu kita menjadi warga negara yang lebih bertanggungjawab. Menjalankan peranan sebagai warga negara secara bertanggungjawab juga akan membantu menciptakan tatanan masyarakat yang lebih baik ke depannya. Setiap warga negara memiliki daya untuk menentukan masa depan bangsanya. Maka mari memilih dengan bijak, dan semoga sedikit uraian prinsip Stoik ini membantumu menjadi warga negara yang baik, yang terlibat aktif, yang bertanggungjawab secara moral. Pada akhirnya, semua untuk kebaikan bangsa. ☺️

On Holding No Opinion

Kita sebenarnya bisa tidak bereaksi terhadap sesuatu yang negatif … kalau saja kita tidak tahu!

Dan itulah triknya. Komentar negatif orang lain tidak akan menjadi hal yang mengganggu kita apabila kita berpikir bahwa kita tidak tahu bahwa itu pernah terjadi. Komentar negatif tersebut menjadi tidak relevan karena memang tidak pernah ada dalam pengetahuan kita. Komentar negatif itu akhirnya tidak memiliki ‘kekuatan’ untuk mengganggu ketenangan kita.

Melakukan ini untuk mereduksi efek hal-hal negatif seperti ini memang membutuhkan latihan agar pikiran kita dapat merespon hal-hal negatif dengan tenang sembari ‘mematikan’ efek emosionalnya. Pada akhirnya kita akan terhindar dari kemungkinan untuk bereaksi. Kita bisa melanjutkan kehidupan dengan berfokus pada kontribusi positif yang ingin kita berikan pada dunia.

You don’t have to have an opinion on everything.

Apakah Ini Membuat Saya Lebih Baik?

Mari kita membayangkan sebuah skenario. Kita sedang sangat marah dan rasanya ingin meneriaki seseorang sebagai pelampiasan. Kita lalu melakukannya dan untuk saat itu rasanya kita melakukan sesuatu yang benar. Amarah kita terlampiaskan dan kita puas. Akan tetapi tak lama kemudian kemungkinan besar kita akan menyesali apa yang terjadi, dan malu atas perilaku kita sendiri.

Ilustrasi Orang Marah

Bagaimana kalau misalnyasebelum kita ‘menggila sesaat’ dan meneriaki orang lainkita menanyakan satu pertanyaan penting pada diri kita sendiri: Apakah aksi marah dan meneriaki orang lain akan membuat saya menjadi lebih baik?. Tentu saja kita tahu bahwa aksi semacam ini tak akan membuat kita lebih baik, dan itulah yang menjadi kekuatan dari pertanyaan ini. Dia bisa menjadi ‘penangkal’ kita dari kecenderungan untuk bertindak berlebihan, atau menjadi ‘gila sesaat’. Toh, marah-marah dan meneriaki orang tidak akan menyelesaikan persoalan dan tidak akan membuat situasi menjadi lebih baik.

Bukan begitu? 😉

Salam,

Paulinus Pandiangan

Tentang Persepsi dan Sikap Orang Lain

Aplikasi filsafat Stoikisme yang paling terasa dalam kehidupan pribadi saya adalah tentang menyikapi persepsi dan/atau sikap orang lain kepada kita. Ini adalah area dimana saya merasa filsafat ini menjadi sangat membantu karena ia mengajarkan tentang dikotomi kendali (yang juga telah saya tulis juga di Buku Kecil Stoikisme berformat PDF).

Sebelum saya memahami lingkup kendali, persepsi orang lain tentang diri saya adalah sesuatu yang banyak menyita pikiran. Apa kata orang? Bagaimana nantinya orang akan bersikap pada saya? dan semacamnya menjadi pertanyaan yang mengganggu. Saya menjadi mudah khawatir pada reaksi atau sikap orang lain, sesuatu yang sesungguhnya berada di luar kendali saya.

Setelah mengenal dan memahami lingkup kendali, saya menjadi semakin sadar bahwa ketenangan diri saya seharusnya tidak terganggu oleh persepsi dan/atau sikap orang lain, sepanjang saya telah berusaha menjadi pribadi yang baik. Pun kalau saya melakukan sebuah kesalahan, semua orang juga melakukan kesalahan, dan itu lumrah. Yang lebih penting adalah bagaimana selanjutnya saya menjalani kehidupan dan tetap tak patah semangat untuk memperbaiki diri, berubah perlahan namun pasti menjadi pribadi yang lebih baik dari saya yang sebelumnya. That’s what matters in the end.

Dan karena itu persepsi dan/atau sikap orang lain menjadi tidak relevan. Bagaimanapun baiknya sikap kita, akan tetap akan ada orang yang bereaksi negatif, dan orang yang tepat akan selalu mendukung kita untuk menjadi lebih baik. Jadi semuanya kembali pada intensi kita. Living with intention menjadi frase kunci di sini.

Saat ini, saya bersyukur bahwa kalau pun menyadari ada persepsi orang lain yang tidak tepat tentang diri saya, atau sikap orang lain yang negatif terhadap diri saya, saya sudah bisa segera menyadari bahwa itu adalah sesuatu yang di luar kendali saya, tidak bisa saya pengaruhi sepenuhnya, dan karena itu, tidak layak mengganggu ketenangan mental saya. Melepaskan keinginan untuk selalu baik di cerita orang lain adalah sesuatu yang membebaskan. I am free, whatever people think or say.

And you too are free.

Menjadi Stoik yang Gagal

Konotasi umum yang beredar terkait Stoikisme adalah bahwa menjadi Stoik berarti berhasil ‘menekan’ perasaan. Berlatih menjadi Stoik adalah berlatih untuk tidak menunjukkan perasaan.

Pernyataan kedua itu pada dasarnya ada benarnya. Orang-orang Stoik memang cenderung untuk tidak menunjukkan secara eksplisit perasaannya. Itulah pilihan sikap yang diambil dalam menghadapi setiap kejadian (event). Orang Stoik akan berfokus pada pilihan sikap yang diambilnya dalam setiap situasi, sehingga apa yang lebih terlihat adalah pilihan sikap atau tindakan mereka, bukan terutama ekspresi dari apa yang sedang dirasakan. Dengan kata lain, seorang Stoik adalah orang yang tetap bisa meneteskan air mata, akan tetapi lebih memilih untuk berfokus pada sikap / tindakan untuk menyikapi kesedihan yang membuatnya meneteskan air mata.

Ilustrasi Orang Stoik

Sangat sulit memisahkan antara emosi dengan pilihan sikap yang diambil seseorang dalam situasi tertentu. Entah bagaimana pun, faktor emosi tetaplah suatu faktor penting dalam perilaku manusia yang tidak bisa dihilangkan begitu saja, meskipun memang pengaruh emosi ini tetap bisa disikapi sedemikian dengan rasionalitas. Karena itu menjadi orang yang sepenuhnya Stoik (atau menjadi sage), menurut hemat saya, adalah suatu ideal yang sangat sulit untuk dicapai, atau bahkan tidak mungkin.

Karena itulah judul di atas muncul. Menjadi seorang Stoikyang gagal untuk sepenuhnya Stoikpun, sebenarnya, sudah bagus! Ketika Anda berhasil mengelola emosi dengan baik dan tidak larut terlalu dalam, dan mencoba untuk menggunakan rasio Anda untuk memikirkan reaksi yang sehat atas apa yang Anda alami, itu adalah jalan yang sulit. Tidak mudah untuk bangkit melampaui pengaruh emosi dan mencoba untuk rasional, apalagi ketika menghadapi suatu pengalaman pahit atau menyedihkan.

Bahkan di saat Anda gagal menjadi Stoik yang sepenuhnya pun, Anda tetap menjadi Stoik ketika berusaha bersikap tenang dan rasional dalam berbagai situasi. And that’s what matters more.

Soal Persepsi

Marcus Aurelius pernah menuliskan ini di jurnal pribadinyayang selanjutnya dikenal dengan Meditationsyang sebenarnya, menurut saya, menegaskan kembali prinsip dikotomi kendali yang diutarakan Epictetus,

Bukan hal atau kejadian di luar dirimu yang membuatmu terganggu, tapi nalarmu tentang hal atau kejadian itu, dan ketahuilah bahwa kamu bisa mengubah persepsimu saat itu juga.

Marcus Aurelius dalam Meditations

Franklin Delano Roosevelt adalah seorang pemimpin politik Amerika yang sangat tersohor. Polio yang dideritanya ketika berusia 39 tahunyang membuatnya harus menggunakan kursi rodajustru menjadi suatu elemen dalam kisah hidupnya yang membuatnya semakin dikenal sebagai pribadi yang kuat. Hal eksternal yang terjadi padanyapolio yang membuatnya menjadi cacattidak membuat karir dan kepribadiannya hancur, justru sebaliknya.

Bayangkan Anda berada dalam posisi Roosevelt. Karir politik Anda sedang cemerlang dan Anda sedang mempersiapkan diri (dan bahkan mengimpikan!) untuk menjadi presiden Amerika Serikat. Lalu, tiba-tiba kabar tak menyenangkan itu tiba. Dokter Anda mengatakan bahwa Anda terkena polio, hidup Anda tak akan pernah sama lagi dan harus menggunakan kursi roda sepanjang hidup Anda. Tentu Anda merasa down, bukan?

Franklin Delano Roosevelt juga pasti down ketika mendengar berita ini. Tetapi apa yang dia lakukan selanjutnya-lah yang membuat perbedaan. Dia menerima hal eksternal ini dan dia mengelola persepsinya tentang apa yang terjadi padanya, dan segera, dia menemukan kekuatan untuk tetap melanjutkan kehidupan. Fakta bahwa dia menjadi cacat tidak bisa dielakkan, harus diterima sebagai takdir. Dia melakukan amor fati. Penerimaan yang dia lakukan bukanlah pasrah, tetapi dia menjadikan fakta yang dialaminya sebagai sebuah bagian dari perjalanan kehidupan yang harus diterima, yang membuatnya sungguh sebagai pribadi seorang Franklin Delano Roosevelt.

Dan sejarah mencatatnya sebagai seorang pemimpin Amerika yang luar biasa.


Praktik Premeditatio Malorum Saya

Hai, teman-teman… Saya sebenarnya sudah pernah menulis tentang Premeditatio Malorum ini sebelumnya dan juga membahasnya di Buku Kecil Stoikisme yang telah saya publikasikan juga. Kali ini saya hanya ingin membagikan bagaimana saya menjalankannya dalam kehidupan sehari-hari, dimulai dari malam hari saat saya beranjak tidur.

Pertama, saya memvisualisasikan bahwa esok paginya saya bisa saja bangun dengan segar tanpa migrain, atau bisa jadi saya bangun pagi dalam keadaan migrain. Saya sering merasakan migrain ketika bangun pagi, sehingga akhirnya saya menjadikan ini sebagai bagian dari kemungkinan pengalaman yang bisa terjadi di pagi hari. Saya menjadi begitu bersyukur ketika pagi hari saya bisa bangun dengan segar tanpa migrain!

Kedua, ketika akan berangkat kerja, saya memvisualisasikan bahwa saya bisa saja terpeleset di perjalanan ketika menuju pabrik. Saya memang jarang sekali terjatuh dari sepeda motor, akan tetapi kemungkinan itu tetap ada, bukan? Ketika suatu saat misalnya hal itu terjadi, saya bisa segera menyadari bahwa itu merupakan pengalaman manusiawi yang bisa terjadi kepada semua pengendara sepeda motor, termasuk saya.

Ketiga, ketika akan berangkat bekerja saya juga memvisualisasikan bahwa orang-orang yang saya temui tidak akan bertindak sebagaimana yang saya harapkan. Ketika saya memberi senyuman, mereka tidak akan membalas dengan tersenyum kembali. Ketika saya berusaha untuk bersikap ramah kepada orang yang saya temui, orang-orang akan bersikap negatif dan toksik kepada saya. Ketika saya berniat untuk mengerjakan sesuatu, akan ada saja hal-hal yang mengganggu agenda saya. Dengan kata lain, saya mencoba untuk bersiap secara mental pada berbagai bentuk disrupsi atau gangguan, sehingga ketika hal-hal tersebut ternyata benar-benar terjadi, saya bisa tetap berdamai dengan keadaan. Dalam konteks ini saya berpendapat bahwa praktik amor fati (mencintai takdir) harus diawali dengan premeditatio malorum (visualisasi negatif).

Dan yang paling menarik adalah ketika ternyata kita mengalami berbagai hal positif sepanjang hari (ini juga bisa terjadi!): ketika orang-orang yang kita temui misalnya bersikap sangat ramah dan baik, ketika kita misalnya mendapatkan pengalaman yang berkesan ketika berkomunikasi dengan orang lain, ketika misalnya kita mendengar kabar gembira dari seorang teman, ketika misalnya kita memiliki banyak waktu untuk mengerjakan apa yang kita sukai tanpa banyak gangguan. Hari kita akan terasa begitu berkesan, dan kita akan sangat bersyukur karena kita juga menyadari bahwa hari kita bisa saja diisi dengan berbagai pengalaman yang tidak menyenangkan. Inilah yang menurut saya menjadi nilai dan kekuatan dari praktik Premeditatio Malorum itu sendiri: kita menjadi terbuka pada kenyataan dengan segala kemungkinannya, dan kita bisa mengapresiasi dengan sungguh-sungguh ketika hal baik terjadi dalam hidup kita.

Sebagai penutup, mari kita simak sebuah quote dari Seneca berikut:

Menentukan Tujuan ala Stoik

Berikut tiga strategi stoik dalam menentukan tujuan, sebagaimana disarikan dari artikel di laman Daily Stoic ini.

[1] Menentukan tujuan yang di bawah kendali kita.

Tugas utama seorang manusia dalam hidupnya, menurut Epictetus, adalah memahami apa yang di bawah kendalinya dan apa yang di luar kendalinya. Sebagai contoh, kesuksesan. Kesuksesan adalah tujuan banyak orang, dan banyak yang tidak menyadari bahwa kesuksesan adalah sesuatu yang tidak berada di bawah kendali kita sepenuhnya. Menjadikan kesuksesan sebagai tujuan hanya akan menimbulkan ketidakbahagiaan, karena ada begitu banyak faktor yang mempengaruhinya, faktor-faktor yang berada di luar kendali kita.

Lalu kalau bukan kesuksesan, apa tujuan yang seharusnya?

Yang lebih rasional adalah mengerahkan kemampuan terbaik saat mengerjakan sesuatu. Mark Manson, seorang penulis, pernah mengatakan bahwa dia tidak pernah menargetkan bahwa bukunya akan sukses di pasaran. Yang menjadi tujuannya adalah berupaya menulis buku yang lebih baik dari buku yang sebelumnya, dengan segala upaya terbaik yang bisa dilakukan.

Itulah yang dimaksud dengan menentukan tujuan yang di bawah kendali kita.

Ilustrasi Menetapkan Tujuan | Sumber

[ 2 ] Tidak membuat terlalu banyak tujuan.

Tujuan yang terlalu banyak dalam satu waktu bisa melumpuhkan. Kita akan kesulitan dalam membuat prioritas. Melakukan 3 hal dengan nilai A jauh lebih baik dibandingkan dengan melakukan 5 hal dengan nilai B, atau bahkan C. Maka sangat penting untuk mengkaji sebuah tujuan yang sudah ditetapkan: apakah ia benar-benar penting?

Dengan ‘memangkas’ tujuan-tujuan yang tidak esensial dari daftar panjang tujuan-tujuan yang ingin dicapai, kita akan hidup lebih seimbang dan dengan demikian memperbesar peluang kita untuk sukses dalam tujuan-tujuan yang lebih penting.

[ 3 ] Memastikan tujuan tersebut benar-benar tujuan kita sendiri.

Saya pernah menyinggung tentang hasrat mimetik di sebuah tulisan lama. Ide dasarnya adalah bahwa banyak dari keinginan kita muncul akibat meniru keinginan atau hasrat orang lain. Inilah yang perlu dicermati dalam menentukan tujuan: apakah tujuan ini benar-benar sesuatu yang penting bagi kita, atau hanya sesuatu yang mengikuti tujuan orang lain?

Juga, kita perlu mengarahkan tujuan bukan pada hal-hal eksternal, seperti tujuan untuk mendapatkan pengakuan atau penghargaan. Tujuan yang benar adalah tujuan untuk memperbaiki diri dari waktu ke waktu; sehingga kompetitornya bukanlah orang lain, melainkan diri sendiri. Berkompetisi dengan diri sendiri yang dimaksud di sini adalah berusaha untuk terus memperbaiki diri dari dalam, layaknya seorang atlet yang terus berusaha memperbaiki rekor yang diciptakannya sendiri.


Saya hanya ingin menutup tulisan ini dengan quote berikut,

Perihal Kuasa

Bacaan singkat dari The Daily Stoic untuk 7 November berbicara perihal kekuasaan. Dua tokoh ditampilkan: Alexander Agung dan filsuf Diogenes dan bagaimana keduanya memandang kekuasaan (power).



Jangan berpegang pada reputasi, uang, atau posisimu, tetapi berpeganglah pada nalarmu untuk mengetahui apa yang di bawah kendali dan di luar kendalimu. Inilah yang akan membuatmu merdeka, yang akan membuatmu setara dengan orang-orang kaya dan berkuasa.

Epictetus dalam Discourses

Kekuatan atau kekuasaan dalam pandangan Stoikisme adalah kemampuan kita untuk menahan diri dari banyak keinginan, karena ini berarti kita mampu mengendalikan diri.

Alexander Agung memandang kekuasaan sebagai kemampuan untuk menaklukkan dunia; dan Diogenes justru memandang kekuasaan sebagai kemampuan untuk menahan diri dari ketamakan untuk menguasai dunia. Kemampuan untuk menahan diri dan membatasi keinginan inilah yang sebenarnya menjadi refleksi seberapa kuat dan berkuasanya seseorang; to conquer self.

Sebagaimana pernah diutarakan Publilius Syrus, “Ingin memiliki kerajaan? Kuasailah dirimu!”.

Keren itu Pilihan Sikap

Masih tentang definisi sukses yang sesungguhnya, yang saya ulas di tulisan sebelumnya

Alexander Agung, sebuah nama yang dikenal banyak orang. Bahkan namanya diabadikan menjadi sebuah kota, Alexandria, di Mesir, padahal orangnya hidup pada sekitar 2.300 tahun sebelumnya. Untuk sekilas, tampaknya Alexander Agung ini cukup sukses dan kerenkalau kita menggunakan metriks sukses dari apa yang terlihat di luar saja, seperti yang saya bicarakan sebelumnya.

Tetapi bagi orang Stoik, tak ada yang keren dari Alexander Agung. Memangnya kita tahu nama kita tetap dikenang setelah meninggal? Pilihan-pilihan tindakan yang diambil Alexander semasa hidupnya juga (sangat) tidak keren. Dia suka berperang, dia mudah marah, dia bahkan membunuh teman sendiri dalam suatu perkelahian dalam keadaan mabuk. Dia menjadi budak dari ambisinya sendiri. Lalu apa yang perlu dibanggakan dari itu?

Maka saran dari para filsuf Stoikisme adalah: berfokuslah menjadi versi terbaik dirimu saat ini; lakukan apa yang baik dan benar. Tidak perlu risau dengan apa yang akan terjadi di masa depan. Yang bisa kita kendalikan adalah pilihan-pilihan tindakan saat ini.

Dalam Stoikisme, itulah keren yang sesungguhnya!

Click to listen highlighted text!