Selamat datang di blog Paulinus Pandiangan. Semoga kamu menemukan sesuatu yang berguna.   Click to listen highlighted text! Selamat datang di blog Paulinus Pandiangan. Semoga kamu menemukan sesuatu yang berguna.

Hidup di Dunia yang Tak Sempurna

Kita semua tahu bahwa dunia ini bukanlah ‘arena’ yang ideal, dalam arti bahwa setiap orang memiliki masalah masing-masing dan dunia ini penuh dengan persoalan dan ada disfungsi sistem, tetapi ideal sebagai medan untuk mempraktikkan filosofi.

Dunia bukan tempat dimana segalanya sempurna.

Menyikapi ini, ada 2 pilihan: sinis dan menjadi apatis, atau bertindak dan berupaya terus menjadi lebih baik.

Pilihan pertama sangat mudah. Kita bisa memalingkan perhatian dari segala persoalan dan ketidakberesan, menyalahkan dunia atas ketidaksesuaian antara situasi ideal di benak kita dengan apa yang sesungguhnya terjadi dan dialami. Finger pointing.

Pilihan kedua lebih sulit. Jauh lebih sulit. Kita perlu menyeimbangkan antara bersikap pragmatis dan realistis. Kita harus tetap bisa mengoptimalkan setiap situasi di mana kita berada. Kita tak bisa mengharapkan bahwa segala sesuatu akan ideal. Akan ada ‘gap’ antara konsep yang ada di benak kita dengan kenyataan yang kita alami dan lihat sendiri di kehidupan nyata, dan apa pun situasinya, itulah yang harus kita kelola. Di situlah lingkup kita.

Dan hidup memang seperti itu. Kita berada di dunia penuh cacat karena memang dipenuhi orang-orang yang tak sempurna. Kita sendiri pun tak sempurna. Maka menjadi tidak adil apabila kita merasa lebih baik dari orang lain. Ada banyak hal dalam diri kita sendiri yang harus kita perbaiki, dan ada banyak hal baik yang bisa kita lakukan. Memilih untuk tidak berpartisipasi dalam kebaikan—hanya karena kita apatis dengan keadaan dunia saat ini—tentu bukan pilihan yang bijaksana.

Dan tentu saja tak realistis, karena kita memang berada di ‘arena’ yang penuh dengan ketidaksempurnaan. Disfungsi. Kelemahan.

Burnt Toast Theory dan Kekuatan Perspektif

Ada sebuah metafor menarik yang dikenal dengan nama burnt toast theory. Ide dasarnya adalah bahwa sebuah keterlambatan kecil (keterlambatan berangkat kerja karena memanggang roti untuk sarapan) bisa jadi menjadi sebuah berkat terselubung (blessing in disguise). Keterlambatan ini bisa saja merupakan bagian dari mekanisme alam untuk menghindarkan kita dari kecelakaan di jalan raya. Atau, bisa jadi bahwa dengan sedikit terlambat kita justru bertemu dengan seseorang yang menarik di perjalanan.

Metafor ini mengingatkan kita bahwa hidup penuh dengan kejutan-kejutan kecil, dan kita memiliki kekuatan untuk menumbuhkembangkan perspektif yang sehat dan berimbang tentang hidup; bahwa kegagalan atau keterlambatan pun bisa menjadi berkat di kemudian waktu.

Burnt toast theory = mindset.

Kekuatan Perspektif

Berikut beberapa cara mengintegrasikan mindset ini dalam rutinitas sehari-hari:

Merangkul Fleksibilitas dan Kemampuan Beradaptasi

Perjalanan hidup tidak akan selalu sesuai rencana kita. Dengan fleksibel dan selalu siap menyesuaikan diri dengan keadaan, kita tidak akan kesulitan dalam mengarungi perubahan-perubahan dalam hidup. Perubahan pasti akan selalu terjadi. Menerapkan mindset ini akan sangat membantu kita menekan kecemasan akibat perubahan dan akan memampukan kita menghadapi tantangan-tantangan yang lebih besar lagi ke depannya dengan sikap tenang tanpa gusar berlebihan.

Menumbuhkembangkan Optimisme

Bersikap optimis tidak berarti bahwa kita mengabaikan kesulitan hidup, akan tetapi memilih berfokus pada kesempatan-kesempatan baru yang muncul bersamaan dengan tantangan / kegagalan / keterlambatan. Tetap ada potensi yang bisa digali dalam suasana yang ‘terlihat’ negatif. Kemampuan untuk berpikir seperti ini akan meningkatkan tingkat kepuasan hidup dan kebahagiaan. Menjadi lebih optimis adalah sesuatu yang bisa dilatih.

Mempraktikkan Hidup Berkesadaran (Mindfulness)

Hidup berkesadaran adalah benar-benar ‘hadir’ dalam setiap momen, tidak hanya secara fisik, tetapi secara utuh, mental dan fisik; hidup sepenuhnya dalam saat ini, terbebas dari kecenderungan impulsif untuk selalu menghakimi dan melabeli segala sesuatu. Ketika mengalami kegagalan, adalah sangat baik apabila kita bisa dengan tenang menarik nafas, mengakui perasaan yang kita alami, apa pun itu, dan lalu melepasnya. Praktik berkesadaran seperti ini bisa menjaga kita tetap waras dan membumi, dan ‘gangguan-gangguan’ kecil tidak akan menjadi narasi yang dibesar-besarkan dalam pikiran, yang malah akan membuat kita semakin tertekan (stress).

Bersyukur

Menulis jurnal rasa syukur sangat banyak dipakai orang dan banyak dari mereka yang mendapatkan manfaat darinya. Menulis jurnal seperti ini membantu kita berfokus pada hal-hal baik dalam hidup, termasuk hal-hal baik kecil yang terjadi saat kita mengalami kegagalan. Menuliskan secara sadar hal-hal yang kita syukuri sepanjang hari bisa membantu kita mengapresiasi berkat-berkat tersembunyi dalam hidup.

Membangun Perspektif Berimbang

Perspektif berimbang meliputi pemahaman bahwa hidup itu sendiri ibarat campuran dari beragam pengalaman, baik yang menyenangkan maupun yang tidak. Berikut beberapa tips membangun perspektif yang sehat dan berimbang:

  1. Berdamailah dengan ketidaksempurnaan. Hidup tidak harus sempurna dan sama sekali tidak bisa diprediksi. Menyadari fakta mendasar ini akan membantu kita ‘melepaskan’ ilusi kendali dan kesempurnaan. Hasil akhirnya adalah bahwa saat mengalami kesulitan pun, batin kita bisa tetap tenang.
  2. Berfokus pada pertumbuhan. Kegagalan bisa dipandang sebagai kesempatan untuk belajar dan membenahi diri sehingga bisa lebih berkembang lagi. Dalam proses ini, kita secara tidak langsung juga menumbuhkan resiliensi atau ketangguhan, kesabaran, dan keterampilan memecahkan persoalan. Mindset yang berorientasi pada pertumbuhan inilah yang akan membantu kita menavigasi beragam tantangan hidup dengan sikap optimis dan percaya diri.
  3. Terhubung dengan orang lain. Dukungan orang-orang terdekat sangat membantu di tengah kesulitan. Pengalaman hidup yang dibagikan kepada teman-teman terdekat akan mengundang saran dan perspektif segar yang barangkali tidak terpikirkan sebelumnya. Ingatlah bahwa kita tidak harus selalu berjuang sendirian.

Kalau kita menyimak perjalanan hidup tokoh-tokoh besar, kita akan menemukan pola yang relatif seragam. Kejayaan mereka selalu diawali dengan rangkaian kegagalan. J. K. Rowling, sebagai satu contoh, ditolak penerbit berpuluh kali sebelum akhirnya Harry Potter dikenal orang di seluruh dunia.

Pengalaman gagal menjadi batu loncatan yang ‘melontarkan’ orang yang berjuang dengan gigih ke gerbang kejayaan.

Maka kalau kiranya kita bisa menerapkan prinsip ini dalam kehidupan masing-masing, rasanya besar kemungkinan bahwa kita pun akan berhasil pada saat yang tepat. Mari belajar menjadi orang-orang yang fleksibel, selalu siap beradaptasi, berlatih untuk optimis, hidup berkesadaran, dan senantiasa bersyukur atas hal-hal baik dalam hidup, sekecil apa pun. Ingatlah bahwa apa yang kita persepsikan sebagai kemunduran, kegagalan, atau keterlambatan seringkali bisa dimanfaatkan semesta untuk menghantar kita pada keberhasilan yang gemilang.

Delays can be a blessing in disguise.

The Practice of ‘Contemplatio’

‘Contemplatio’ adalah versi Latin untuk ‘contemplation’, atau berpikir tentang sesuatu secara mendalam. Ini adalah proses introspektif dimana kita secara sadar memilih untuk merefleksikan sesuatu. Berefleksi tentu saja secara alamiah adalah proses yang perlahan. Tidak diburu. Maka ketika kita berkontemplasi, kita masuk ke dalam ‘slow mode‘.

And that is where the magic starts to happen.

Kontemplasi itu sebenarnya apa?

Kontemplasi adalah upaya untuk tetap memiliki ‘kejernihan batin’ di tengah hiruk-pikuk kehidupan. Ini hanya akan terjadi apabila kita ‘menepikan’ segala gangguan, setidaknya untuk sementara, dan ‘melarutkan’ diri dalam refleksi. Dalam kontemplasi kita justru ‘bergulat’ dengan isi pikiran, perasaan, atau hal tertentu yang tengah menarik perhatian. Kontemplasi adalah proses introspektif yang dilakukan dengan tenang dan cermat untuk memperoleh pemahaman yang utuh akan berbagai ide atau hal yang menarik bagi kita.

Apa saja manfaatnya?
  • Pertama, kejernihan pikiran. Ibarat merapikan meja yang penuh dengan lembaran berkas, kontemplasi adalah ‘merapikan pikiran’ dan membantu kita ‘melihat’ berbagai hal dengan ‘jernih’.
  • Kedua, tentu akan mempengaruhi emosi kita. Saya pernah membaca bahwa isi pikiran mempengaruhi emosi, dan sebaliknya, emosi menimbulkan pikiran-pikiran baru. Merefleksikan emosi sangat berpotensi membantu kita dalam memahami dan selanjutnya mengendalikannya. Emotional regulation.
  • Meningkatkan kreatifitas. Berpikir secara mendalam akan memungkinkan kita mengeksplorasi ide-ide dan konsep secara terperinci. Ini seringkali membukakan pikiran kita akan hal-hal baru yang barangkali tidak disadari sebelumnya.
  • Menjadi lebih sadar diri. Kontemplasi akan membuat kita semakin mengenal siapa kita sebenarnya. Dengan mengenal diri secara baik, kita selalu akan tahu apa yang harus dilakukan. Pribadi kita akan bertumbuh.
Lalu bagaimana mempraktikkannya?

Berikut cara-cara yang dapat dilakukan untuk berkontemplasi:

Pertama, temukan tempat yang hening. Tempat seperti ruangan yang hening, taman, atau tempat lain dimana kita bisa merasa damai.

Kedua, sediakan waktu. Tidak ada standar waktu untuk kontemplasi. Apabila 15 sampai 20 menit dirasa cukup, maka menyisihkan waktu 20 menit setiap hari rasanya tidak sulit. Di luar hari kerja biasa, saya pun sering menggunakan hari Minggu untuk memikirkan sesuatu yang menarik.

Ketiga, menentukan fokus. Apa yang ingin saya refleksikan tentu akan berbeda dengan orang lain. Setiap orang bisa mengkontemplasikan berbagai hal yang penting bagi mereka, misalnya persoalan hidup, sebuah kalimat menarik dari buku, pertanyaan filosofis, atau perasaan masing-masing.

Keempat, merilekskan diri. Kontemplasi tidak akan terjadi dalam suasana tegang. Maka kita harus membiarkan diri untuk rileks dan bernafas dengan tempo yang tenang. Seperti yang saya sampaikan di awal, kita beroperasi dalam ‘slow mode‘.

Kelima, amati isi pikiran dan refleksikan. Biarkan pikiran-pikiran itu mengalir secara alami. Amati tanpa menghakimi. Refleksikan mengapa pikiran-pikiran itu muncul dan apa artinya bagi kita secara pribadi.

Keenam, tuliskan. Saat kita menulis hasil refleksi, kita ‘mengkristalkan’ hasil refleksi itu. Pada akhirnya praktik menuliskan buah refleksi akan memperkuat pemahaman kita akan diri kita sendiri. It’s pretty much like self-auditing our thoughts and feelings.

Ketujuh, membuat dialog dengan diri sendiri. Kita bisa mengajukan pertanyaan reflektif seperti, “Mengapa saya merasakan emosi ini?” atau “Apa yang bisa saya pelajari dari hal atau pengalaman ini?”

Terakhir, bersabarlah dengan diri sendiri. Pertanyaan-pertanyaan yang kita ajukan pada diri sendiri seringkali tidak langsung terjawab. Tujuan kontemplasi bukanlah untuk menemukan jawaban saat itu juga. Berikan waktu pada pikiran kita untuk berproses.

Teknik kontemplasi juga ada macam-macam. Ada kontemplasi di alam terbuka dimana orang mereflesikan keindahan dan kompleksitas alam sekitar. Ada juga kontemplasi musik dan seni, dimana orang berusaha menggabungkan unsur-unsur seni dan musik dalam kontemplasinya untuk bisa merefleksikan emosi mereka dengan sepenuhnya. Juga ada kontemplasi religius, dimana orang merefleksikan isi kitab suci dan ajaran-ajaran spiritual. Dan ada pula kontemplasi filosofis, dimana orang ‘bergumul’ dengan pertanyaan-pertanyaan filosofis tentang esensi hidup dan arti menjadi manusia, misalnya.

Hakikat kontemplasi dilakukan adalah agar kita memperoleh kejelasan arah hidup, membuat kita lebih memahami emosi dan lebih terampil mengendalikannya, dan pada akhirnya agar kita semakin bertumbuh, baik secara mental maupun spiritual. 🌻

"Contemplation is the highest expression of man’s intellectual and spiritual life. It is that life itself, fully awake, fully active, fully aware that it is alive.”Thomas Merton

Memahami ‘Post Hoc Ergo Propter Hoc’

“Setelah minum teh herbal, migrain saya langsung hilang. Pasti teh ini yang menyembuhkannya!”

Konstruksi berpikir seperti di atas adalah salah satu contoh kesalahan logika (logical fallacy). Ada istilah khusus untuk kesalahan logika seperti ini: Post Hoc Ergo Propter Hoc.

Terjemahan sederhananya kira-kira, “After this, therefore because of this“. Pada contoh sebelumnya, karena sembuhnya migrain dirasakan setelah meminum teh herbal, maka teh herbal disimpulkan sebagai penyebab sembuhnya migrain.

Fakta menariknya adalah bahwa kita acap jatuh ke dalam konstruksi berpikir yang keliru seperti ini.

Padahal, hanya karena kejadian A terjadi sebelum kejadian B, tidak berarti mutlak bahwa kejadian A menjadi penyebab B. Bisa saja bahwa kejadian A dan B tidak berhubungan sama sekali, dan bahwa keduanya memiliki penyebab masing-masing yang masih perlu diselidiki lebih lanjut, atau bisa saja bahwa kedua kejadian hanya terjadi secara berurutan saja, tanpa memiliki hubungan sebab-akibat (kausalitas).

Berikut beberapa contoh yang menggambarkan kesalahan logika ini:

  • “Kalau saya lulus ujian, biasanya saya mengkonsumsi permen karet beberapa menit sebelum ujian.” Kesimpulannya jelas bukan permen karet yang membuat seseorang lulus ujian.
  • “Setiap saya selesai mencuci kendaraan, pasti hujan!” Kesimpulannya tentu saja bukan kegiatan mencuci kendaraan yang menyebabkan hujan turun.
  • “Setelah presiden X terpilih, ekonomi negara kita langsung bagus!” Kesimpulannya tentu saja bukan presiden X yang menyebabkan kondisi ekonomi langsung membaik, tetapi ada banyak faktor yang berkontribusi di dalamnya, seperti kebijakan sebelumnya, kondisi pasar global, dan siklus ekonomi.

🌻

Sebenarnya ada beberapa hal yang bisa membantu kita untuk lebih ‘imun’ terhadap kekeliruan berpikir post hoc ergo propter hoc ini:

Pertama, menyadari bahwa korelasi tidak berarti kausalitas. Kita perlu mencari bukti yang menjelaskan sebab sesuatu terjadi. Selain itu, memikirkan penjelasan alternatif juga diperlukan, “Apakah ada faktor lain yang menyebabkan hal ini?”

Kedua, segala sesuatu ada konteksnya. Kita harus memahami konteks dari hal yang terjadi. Faktor-faktor eksternal bisa saja mempengaruhi sesuatu, dan ini perlu dicermati sebelum mengambil kesimpulan.

Ketiga, kita perlu mengetahui pendapat ahli. Asupan berupa analisis para ahli dan penelitian berbasis metode ilmiah sangat diperlukan untuk membantu kita menyimpulkan dengan lebih berdasar dan mantap.

☘️ ☘️ ☘️

Saya menulis ini untuk menjadi pengingat bagi diriku sendiri agar lebih cermat dalam membuat kesimpulan. Semoga bermanfaat juga untuk kalian. Dan ingat, apabila kamu merasa sedikit pusing setelah membaca postingan ini, bukan berarti postingan ini yang membuatmu pusing. 😂

Post hoc ergo propter hoc.

Salam,

Paulinus Pandiangan

Melepaskan Keterikatan dari Ego

Jujur saja ini topik yang berat dan saya tidak sedang mengklaim diri saya sebagai orang yang memiliki pemahaman yang mendalam tentang ego dan bagaimana melepaskan kemelekatan dengan ego itu sendiri. Tulisan ini dimaksud hanya sebagai ‘rekaman’ dari apa yang setidaknya berhasil saya ‘tangkap’ dari beberapa sumber (buku, podcast, dan video) yang berbicara tentang ego.

Lalu apa yang kiranya bisa dilakukan untuk melepaskan kemelekatan dari ego kita sendiri?

Pertama: Mengamati pikiran. Menyadari apa yang tengah dipikirkan menjadi langkah awal, terlebih untuk pikiran-pikiran yang cenderung tidak positif. Kita sebenarnya memiliki kemampuan untuk menjadi pengamat (observer) pikiran-pikiran kita sendiri. Ini sesuatu yang bisa dilatih. Sebagai contoh, misalnya kita sedang mengkritik diri kita sendiri. Apabila pikiran ini berulang terus menerus, pada akhirnya kita akan menyadari, “Hmm, tampaknya pikiran ini selalu muncul lagi dan lagi hampir setiap hari tanpa benar-benar saya sadari sebelumnya.”

Lalu kedua: Membedakan antara ‘bisikan’ ego dan situasi yang sebenarnya. Misalnya kita sedang berada di barisan antrian. Akibat lama menunggu, kita menjadi tidak sabar dan menggerutu dalam hati. Lalu timbul sebuah pikiran, “Ini hanya membuang-buang waktu saja!”. Pikiran semacam itu sebenarnya adalah suara ego kita sendiri. Situasi yang sebenarnya terjadi adalah bahwa benar ada antrian, tetapi kita tetap bisa menikmati suasana antrian itu dengan berpikir, “Saya sedang antri. Tidak mengapa. Toh, situasi ini tidak dalam kendali saya. Mengapa saya tidak mencoba menarik nafas dalam-dalam dan mulai menikmati antrian ini?”

Ilustrasi ego yang ‘membebani’ kita sendiri.

Ketiga: Munculkan kesadaran ke permukaan. Ketika kita sudah bisa membedakan ‘bisikan’ ego dan situasi yang sebenarnya, di situlah bermulanya kesadaran (awakening). Setelah itu, bisa saja kita dipengaruhi ego lagi, tetapi secara perlahan kesadaran itu akan semakin menguat dan secara perlahan pula pikiran-pikiran yang mengganggu akan semakin meredup. Ego tidak pernah menginginkan perubahan, dan proses untuk sampai pada kesadaran ini biasanya terjadi perlahan.

Keempat: Lepaskan narasi-narasi dalam pikiran yang menghalangi kita untuk berbuat. Ketika misalnya seseorang kehilangan pekerjaan, dia tak lantas mengutuk dirinya. Dia bisa menggambarkan keadaannya dengan, “OK, saya sedang tidak memiliki pekerjaan saat ini. Yang harus saya lakukan adalah segera mencari pekerjaan.”

Kelima: Buang jauh semua pikiran yang semakin ‘melemahkan’ kita sendiri. Saat bangun di pagi hari dan tiba-tiba hujan lebat, kita bisa mengubah pikiran, “Ini awal hari yang buruk!” menjadi pikiran yang bersyukur. “Ternyata di luar tidak begitu buruk. Langit di saat hujan juga tetap bisa dinikmati.” Saat itu dilakukan secara sadar dalam pikiran, kita akan terbebas dari “belenggu” ego. Kita tidak lagi ‘melapisi’ realitas dengan pikiran kita yang tidak positif, justru kita bisa menikmati sebuah situasi yang kita kutuk sebelumnya.

Menjabarkan ini dalam tulisan tentu jauh lebih mudah dari melakukannya. Semoga kita menjadi manusia yang semakin berkesadaran dan tidak terkungkung dalam ‘bisikan’ ego yang malah menghalangi kita untuk lebih baik lagi.

Take Things with A Grain of Salt

Barangkali salah satu nasihat kehidupan terbaik adalah “Always take things with a grain of salt“. “Take things with a grain of salt” atau “Take things with a pinch of salt” bermakna bahwa kita sebaiknya menyikapi sebuah pernyataan atau informasi dengan sikap skeptis dan kritis. Kita sebaiknya tidak mempercayai sebuah informasi sebagai sebuah kebenaran utuh begitu saja. Kita perlu mempertanyakan akurasi dari sebuah informasi, mempertimbangkan bahwa ada potensi bahwa bisa saja ada elemen informasi yang dibesar-besarkan dan ada bias di dalamnya. Dengan kata lain, diperlukan kehati-hatian dalam menyikapi informasi, yang barangkali tidak sepenuhnya akurat atau benar.

Hal ini bisa diaplikasikan saat kita:

Mengakses berita dari media. Berita di era ini tersaji dengan cepat dan dimutakhirkan dengan cepat pula. Efeknya adalah kita sebagai konsumen informasi menjadi sangat mudah untuk diombang-ambingkan oleh pelaporan yang bias. Kita bisa mengecek ulang sumber informasinya, melihat apakah saluran berita tersebut memiliki reputasi yang baik, dan sadar akan potensi bias dalam pelaporan berita.

Menggunakan media sosial. Aplikasi media sosial penuh dengan opini, rumor, dan informasi yang keliru. Apabila kita tidak cermat menyikapi sebuah informasi, dan langsung membagikan sebuah informasi tanpa bersikap kritis, maka informasi yang keliru itu bisa menyebar dengan sangat cepat. Perlu kita mengecek kredibilitas sumber informasi dan mengecek ulang fakta yang disampaikan. Berpikir kritis menjadi sangat esensial dalam menyikapi setiap potongan informasi di media sosial.

Berinteraksi secara personal dengan orang lain. Informasi yang sampai ke telinga kita bisa berupa sepotong gosip atau saran dari seorang teman. Semua bentuk informasi ini juga harus dicermati, karena bisa saja kebenarannya masih bisa dipertanyakan. Perspektif semua orang sangat tergantung dari pengalaman dan bias kognitif mereka, sehingga sangat perlu kita cermat mendengarkan, tetapi di saat yang sama mengevaluasi konteks dan motif tersembunyi dari apa yang mereka sampaikan.

Apa manfaat dari mindset skeptis seperti ini?

Pertama, kita akan terlatih berpikir kritis. Ini adalah sebuah kemampuan yang harus terus dilatih, terutama di era saat ini dimana informasi terlalu banyak. Menelan informasi secara utuh tanpa dicerna terlebih dulu bisa membawa dampak yang signifikan, bagi diri sendiri dan juga bagi komunitas dimana kita berada.

Kedua, kita akan terlindung dari misinformasi. Informasi keliru sangat banyak tersebar dewasa ini, sehingga bersikap skeptis secara berimbang akan melindungi kita dari kemungkinan menjadi ‘korban’ propaganda dan kekeliruan.

Ketiga, kita akan memiliki perspektif berimbang, karena kita meninjau informasi tidak hanya dari satu sisi saja. Kita bisa memahami nuansa dari sebuah informasi dan isu-isu kompleks yang terkandung di dalamnya, sehingga opini yang lahir dari benak kita adalah opini yang berdasarkan asupan informasi yang berimbang.

Lalu bagaimana caranya kita bisa memiliki mindset skeptis (baca: kritis) ini?

Kita bisa mengedukasi diri kita sendiri. Pernah mendengar ungkapan “Education is self-education“? Kita bisa mempelajari kekeliruan logika dan bias kognitif secara mandiri dari sumber-sumber yang kredibel untuk memahami bagaimana sebenarnya mekanisme otak kita memproses informasi, memahami potensi untuk bias yang ada dalam semua orang. Memahami ini akan sangat membantu kita mengenali argumen-argumen dan informasi yang keliru dalam kehidupan sehari-hari.

Mendiversifikasi sumber informasi juga adalah langkah yang baik. Tidak terpaku hanya pada satu sumber informasi saja, dan mencoba melihat sebuah informasi yang sama dari beragam sumber. Biasanya ini akan membantu kita ‘melihat’ sesuatu secara lebih utuh dan berimbang, sehingga bisa menyelamatkan kita dari bias konfirmasi, misalnya.

Lalu, bertanya secara kritis. Kita bisa mempertanyakan sumber informasi, tujuan informasi ini disebarkan, dan konteks sebuah informasi. Siapa yang menyediakan informasi tersebut, dan mengapa? Bukti-bukti pendukungnya apa saja? Kalau kita mau sedikit menggali lebih dalam sebuah informasi, kita akan lebih objektif memandang sebuah informasi dan selanjutnya bisa membangun opini yang lebih kaya dan ‘sehat’.

☘️ ☘️ ☘️

Dengan melatih diri untuk tetap kritis dalam menyikapi informasi, kiranya kita akan mampu mengarungi kompleksitas kehidupan modern saat ini dengan lebih percaya diri. Tak semua informasi yang beredar adalah informasi yang benar-benar kita butuhkan. Kalau kita bisa menelaah informasi apa saja yang kiranya bermanfaat bagi kita dan bagi komunitas dimana kita berada, kita bisa membangun perspektif yang lebih sehat, untuk kita sendiri dan setidak-tidaknya untuk lingkar terkecil yang paling dekat dengan kita. 😊

Salam,

Paulinus Pandiangan

10 Fun Ways to Paint Your World

The daily grind can leave us feeling uninspired, with the same routine thoughts on repeat. As a result, we find our thoughts stuck in black and white. But here’s the catch. We can actually change this. The following are 10 vibrant ways to add a splash of color to your mental landscape, making each day a little more interesting.

  1. Sensory Adventures: Our senses are powerful gateways to new experiences. Take a walk in nature, focusing on the textures you feel, the sounds you hear, and the vibrant colors around you. Savor a delicious meal, paying attention to the different flavors and aromas. The idea is to engage your senses fully, and watch your thoughts come alive!
  2. Embrace the Power of Play: Remember the joy of coloring as a child? We can still do that! Dedicate time to coloring books, doodling, or even finger painting. Let go of expectations and simply enjoy the process. Play some upbeat music, light a scented candle, if necessary, and create a fun atmosphere to ignite your creativity.
  3. The Soundtrack of Your Day: Music has a profound effect on our mood. Start your day with an energizing playlist to get your creative juices flowing. Throughout the day, curate different soundtracks for different tasks. Upbeat music for chores, calming melodies for focus work, and something inspiring for creative ventures.
  4. Flip the Script: Challenge your usual way of thinking. Approach familiar tasks from a different angle. Try a new recipe with unusual ingredients, walk your usual route in the opposite direction, or even write with your non-dominant hand (I am not good at this, by the way). These little disruptions can spark new ideas and perspectives.
  5. Spark Curiosity: There’s a world of fascinating information waiting to be discovered. Pick a topic that piques your interest, however random it may seem, and delve into it. Learn about the history of buttons, the science of dreams, or the different types of clouds. Feed your curiosity, and your thoughts will be bursting with new colors.
  6. Embrace the Unexpected: Sometimes, the most interesting experiences come from unplanned detours. Take a spontaneous walk down an unfamiliar street, strike up a conversation with someone new, or say yes to an unexpected invitation. Embrace the thrill of the unknown and see where it leads you.
  7. Write Your Own Story: Journaling is a fantastic way to explore your thoughts and feelings. Write down your dreams, anxieties, or even fictional stories. Write in different formats – poetry, free verse, even a dialogue between you and your future self. Let your imagination run wild and see what stories emerge.
  8. The Power of Gratitude: Focusing on the good things in life adds a natural brightness to your day. Start a gratitude journal and take a few minutes each day to write down what you’re thankful for. Appreciating the little things can shift your perspective and color your thoughts in positive light.
  9. Create a Vision Board: Don’t just dream it, visualize it! Create a vision board filled with images, quotes, and words that represent your goals and aspirations. Surrounding yourself with these visuals will inspire you and keep your thoughts focused on achieving your colorful dreams.
  10. Share Your Spark: The most vibrant colors shine brighter when shared with others. Teach a friend a new skill, host a creative game night, or even start a blog to share your colorful ideas with the world. When you share your passions with others, you not only inspire yourself but also color the world around you.

Remember, coloring your thoughts is more like a journey, not a destination. Experiment a lot, try to have fun, and embrace the joy of living a life bursting with color!

Notes on Negativity Bias

Negativity bias refers to the tendency of humans to pay more attention to and give more weight to negative experiences, emotions, or information compared to positive ones. This bias can influence perceptions, decision-making, and overall well-being. Here’s how you can deal with it:

  1. Awareness: Recognize when negativity bias is at play. Awareness can help you understand why certain negative thoughts or events may have a stronger impact on you.
  2. Challenge Negative Thoughts: Question the validity of negative thoughts. Ask yourself if there’s evidence to support them, or if there might be alternative explanations.
  3. Practice Gratitude: Cultivate a habit of focusing on the positive aspects of your life. Regularly acknowledge and appreciate the good things, no matter how small they may seem.
  4. Mindfulness: Practice mindfulness to observe your thoughts and emotions without judgment. This can help you distance yourself from negative thoughts and prevent them from controlling your actions.
  5. Limit Exposure to Negativity: Be mindful of the media you consume and the company you keep. Limit exposure to negative news or individuals who constantly dwell on negative topics.
  6. Positive Affirmations: Use positive affirmations to counteract negative self-talk. Repeat affirmations that affirm your worth, abilities, and potential.
  7. Seek Social Support: Share your concerns and emotions with supportive friends, family members, or a therapist. Having a supportive network can provide perspective and help you reframe negative experiences.
  8. Practice Self-Compassion: Be kind to yourself during challenging times. Treat yourself with the same kindness and understanding that you would offer to a friend facing similar difficulties.

By incorporating these strategies into your daily life, you can mitigate the effects of negativity bias and cultivate a more balanced perspective on yourself and the world around you.

Positivity Ratio

The ratio often cited in psychological studies regarding the “positivity ratio” is 3:1. This means that it takes three positive thoughts, experiences, or inputs to counteract the effects of one negative feedback or thought. This ratio is based on research by psychologists such as Barbara Fredrickson, who have studied the impact of positive emotions on well-being. However, it’s essential to note that the exact ratio may vary for different individuals and contexts. The key is to focus on increasing positive experiences and emotions to counterbalance the influence of negativity.

Brain When Experiencing Negativity Bias

When the human brain encounters negative stimuli or experiences, several mechanisms come into play, contributing to the phenomenon known as negativity bias:

  1. Amygdala Response: The amygdala, a part of the brain involved in processing emotions, particularly fear and threat, responds more strongly to negative stimuli than positive or neutral ones. This heightened response to negativity helps prioritize survival and self-protection.
  2. Memory Formation: Negative events tend to be remembered more vividly and for longer periods compared to positive ones. This is partly due to the amygdala’s interaction with the hippocampus, which is involved in memory formation. The emotional intensity of negative experiences enhances memory consolidation.
  3. Attentional Bias: The brain directs more attention toward negative stimuli, leading individuals to notice and focus on potential threats or dangers in their environment. This selective attention to negativity helps individuals anticipate and respond to potential risks.
  4. Cognitive Processing: Negative information is often processed more deeply and extensively than positive information. The brain engages in rumination, dwelling on negative thoughts and experiences, which can amplify their impact and prolong their influence on mood and behavior.
  5. Evolutionary Adaptation: Negativity bias may have evolved as an adaptive mechanism to prioritize survival in ancestral environments where threats were more prevalent. In modern contexts, this bias persists, influencing perception, decision-making, and emotional responses.

Overall, the human brain’s response to negativity bias involves a complex interplay of neural processes, including emotional processing, memory formation, attentional mechanisms, and evolutionary influences. These mechanisms collectively contribute to the prioritization of negative information and experiences in cognition and behavior.

Brain Hack (? )

While there’s no simple “hack” to completely eliminate negativity bias, there are strategies you can employ to mitigate its effects:

  1. Cognitive Restructuring: Challenge negative thoughts by examining evidence for and against them. Replace irrational or overly negative thoughts with more balanced and realistic ones.
  2. Mindfulness Meditation: Practice mindfulness to observe negative thoughts and emotions without judgment. Mindfulness can help you develop awareness of your thought patterns and cultivate a more accepting and non-reactive attitude toward them.
  3. Gratitude Journaling: Regularly write down things you’re grateful for, even small ones. Focusing on gratitude can shift your attention away from negativity and cultivate a more positive outlook.
  4. Positive Visualization: Visualize positive outcomes and experiences to counteract negative anticipations or worries. This can help rewire your brain to focus more on positive possibilities.
  5. Physical Exercise: Engage in regular physical activity, which can boost mood and reduce stress, thereby counteracting the physiological effects of negativity bias.
  6. Social Support: Surround yourself with supportive friends and family members who can provide perspective and encouragement during difficult times.
  7. Limit Exposure to Negativity: Be mindful of the media you consume and the conversations you engage in. Limit exposure to negative news or individuals who tend to dwell on negative topics excessively.
  8. Practice Self-Compassion: Treat yourself with kindness and understanding, especially during challenging times. Acknowledge that everyone experiences negativity and setbacks, and be gentle with yourself when facing difficulties.

By incorporating these strategies into your daily life, you can gradually reduce the influence of negativity bias and cultivate a more balanced and resilient mindset.

Life’s Simple Pleasures

Boy running after a girl across a meadow in a park. Probably playing tag-you’re-it, the couple seem to be enjoying themselves.

There are countless tiny moments during the day that go unnoticed but are magical. Everything offers something to treasure, including the warmth of the sun, enjoying a cup of coffee, being in nature, living in the now, and discovering small acts of kindness. The secret to living a meaningful life lies in learning to appreciate these small pleasures. It’s important to take a moment to see the beauty all around us.

The Warmth of Sunlight

Imagine waking up to the gentle rays of sunlight streaming through your window, illuminating the room with a golden glow. There’s something incredibly soothing about the warmth of the sun on your skin. Helen Keller beautifully put it, “Keep your face to the sunshine and you cannot see the shadows. It’s what the sunflowers do.”

Savoring a Cup of Coffee

The aroma of freshly brewed coffee fills the air, tantalizing your senses and signaling the start of a brand new day. Whether you take it black, with a splash of cream, or a sprinkle of cinnamon, that first sip is pure bliss. As Albert Camus once said, “But what is happiness except the simple harmony between a man and the life he leads?”

Connecting with Nature

There’s no denying the rejuvenating power of nature. Whether it’s a leisurely stroll through the park, a hike in the mountains, or simply sitting by the sea, being in nature has a way of grounding us and reminding us of life’s beauty. As John Muir famously stated, “In every walk with nature, one receives far more than he seeks.”

Finding Joy in Little Acts of Kindness

It’s often said that it’s the little things that matter most, and that couldn’t be truer when it comes to acts of kindness. Whether it’s holding the door open for someone, lending a listening ear, or simply offering a smile to a stranger, these small gestures have the power to brighten someone’s day—and your own. As Aesop wisely said, “No act of kindness, no matter how small, is ever wasted.”

Embracing the Present Moment

In a world filled with distractions and constant busyness, it’s easy to lose sight of the present moment. But when we learn to slow down, breathe, and fully immerse ourselves in the here and now, we discover a sense of peace and contentment like no other. As Eckhart Tolle reminds us, “Realize deeply that the present moment is all you ever have.”

So there you have it, my friends—just a few of life’s simple pleasures that make each day a little brighter. Remember to pause, appreciate, and savor these moments, for they are the true essence of a life well-lived.

The Art of ‘Just Enough’

In medio stat virtus,” as they say in Latin, translates to “Virtue lies in moderation.” This phrase emphasizes the importance of balance and moderation in all aspects of life.

But how do we achieve this balance in our daily lives?

It ultimately comes down to adopting a mindset of “just enough”not too much, not too little, but just the right amount that works for each individual. This mindset is crucial for living a peaceful and content life, as constantly striving for more can lead to an endless cycle of dissatisfaction and unhappiness.

This is where the saying “Less is more” comes into play. By having fewer possessions and focusing on utilizing them to their fullest potential, we create more space for the truly important things in life. Embracing a mindset of “just enough” means making intentional choices that grant us freedom and prevent us from becoming entangled in distractions.

Let’s picture some of the benefits. Imagine savoring a simple, healthy meal instead of indulging in fast food. Think about tackling one important task at a time with focus, rather than attempting multiple tasks with diluted effort. Or not having enough free time because you have subscribed yourself to numerous commitments.

Merely visualizing that can already give you a sense of what it means to embrace the art of ‘just enough’. When you choose intention over feeling overwhelmed, you transform stress into purposeful pursuit, prioritizing quality over quantity.

All you have to do is give yourself permission to stop, before the point of diminishing returns.

What can this mindset give us?

Less stress and anxiety: Less striving results in reduced pressure, leading to a calmer and more peaceful mind. Isn’t this what all of us want?

Increased productivity: Focusing your effort on achievable tasks often yields better results than dispersing your energy. This not only boosts your confidence but also prepares you to tackle more challenging tasks ahead.

More time and energy: You’ll definitely have more time for hobbies, relationships, and things that truly spark joy.

Greater appreciation: By slowing down and focusing on the present, you learn to savor the simple things and cultivate gratitude—mindfulness in action.

And less waste, certainly, since you’ll consume fewer things.

☘️ ☘️ ☘️

Some people might equate embracing the mindset of ‘just enough’ with laziness. It’s not. Instead, it is about making conscious choices towards efficiency and well-being. It’s prioritizing yourself in a good way while also taking care of the environment simultaneously.

Your journey of embracing the mindset of ‘just enough’ is always personal. What works for you might not work for others, and vice versa. You have to find your own ways and approach it in a manner that aligns with your preferences and circumstances, rather than merely following what the media dictates.

It is personal in a sense that you’re liberating yourself from the “more is more” message spread by society. Freedom is only possible by embracing ‘just enough’ in all aspects of life. Once you consistently adopt this mindset, you’ll be surprised at how much peace and joy it brings to your life. And isn’t that the kind of life you’re looking for?

I’m going to leave you with this beautiful quote,

"Contentment is natural wealth, luxury is artificial poverty." — Socrates
Click to listen highlighted text!