Selamat datang di blog Paulinus Pandiangan. Semoga kamu menemukan sesuatu yang berguna.   Click to listen highlighted text! Selamat datang di blog Paulinus Pandiangan. Semoga kamu menemukan sesuatu yang berguna.

Tentang Kausalitas Yang Keliru

Di pulau Hebrida, yang secara geografis berada di utara Skotlandia, konon kutu di kepala dianggap sesuatu yang harus dipelihara. Mereka berpendapat bahwa kalau induk kutu dibasmi, orang tersebut akan demam. Maka, untuk menyembuhkan demam, orang malah dengan sengaja menaruh induk kutu di kepala orang tersebut. Menurut mereka, setelah kutu dikembalikan ke orang tersebut, kondisinya akan membaik.

Di tempat lain, ada juga orang yang meyakini bahwa semakin banyak petugas pemadam yang terlibat dalam proses pemadaman api, maka kerusakan akibat kebakaran tersebut akan semakin besar. Kepala daerahnya bahkan sampai memotong anggaran petugas pemadam kebakaran akibat pola pikir ini.

Kita mungkin tersenyum membaca kedua cerita di atas, tetapi kekeliruan berpikir yang tersirat di dalamnyakausalitas palsu (false causality)sesungguhnya umum terjadi (bahkan) di kehidupan modern sekarang ini. Dari kedua cerita di atas kita tahu bahwa sebenarnya kutu meninggalkan inangnya yang demam karena permukaan kulitnya menjadi hangat, sehingga kutu tidak nyaman, dan bahwa jumlah petugas pemadam justru ditambah karena memang sebaran apinya membesar.

Contoh-contoh lainnya sangat mudah ditemukan dalam kehidupan terkini. Misalnya saat kita membaca artikel berjudulkan ‘Dampak Motivasi Karyawan Terhadap Meningkatnya Keuntungan Perusahaan’ . Kausalitas yang tersirat pada judul ini tentu bisa dipertanyakan. Apa memang demikian? Bisa jadi orang menjadi termotivasi justru karena perusahaan sedang dalam kondisi baik.

Atau saat orang-orang begitu mendewakan Alan Greenspan, kepala bank sentral Amerika pada periode 1987 – 2006. Mereka beranggapan bahwa kebijakan-kebijakan moneter Greenspan membuat ekonomi Amerika aman. Penjelasan yang lebih masuk akal sebenarnya adalah bahwa Alan Greenspan hanya beruntung bahwa ekonomi sedang berada dalam kondisi baik saat ia menjabat. Simbiosis Amerika dengan China saat itu memainkan peran penting dalam menjaga kestabilan ekonomi. Tentu berbeda dengan situasi sekarang.

Contoh lain: iklan shampoo. Dipromosikan dengan gencar bahwa shampoo tertentu (katakan saja merk Z) akan membuat rambut lebih kuat, dan secara statistik telah terbukti dengan angka-angka. Yang terjadi adalah bahwa orang-orang tersebut memakai shampoo merk Z justru karena di kemasannya tertulis “khusus untuk rambut tebal”.

Dari pola-pola yang berulang ini kita bisa ‘menangkap’ kekeliruan berpikir dalam beraneka hal lain, misalnya:

  • Jumlah buku yang ada di rumah siswa akan membuat skor akademiknya lebih bagus. Yang terjadi adalah orang tua yang terdidik menyediakan lebih banyak buku di rumahnya, dan gen orangtua yang terdidik dengan baik akan menurun kepada anaknya (yang kemungkinan besar akan meraih skor akademik yang baik).
  • Lamanya pasien dirawat di rumah sakit akan memberikan dampak buruk kepada pasien bersangkutan. Yang terjadi adalah bahwa pasien yang lebih cepat akan dipulangkan lebih cepat dari rumah sakit dan tidak ada yang salah dengan waktu perawatan yang lama untuk pasien yang memang membutuhkannya.
  • Berasumsi bahwa kucing hitam yang berpapasan dengan kita di jalan menjadi penyebab kesialan. Yang lebih masuk akal adalah bahwa pengalaman sial dan bertemu kucing hitam adalah dua hal yang terjadi dalam rentang waktu yang berdekatan, akan tetapi tidak terhubung sebab akibat.

Kesimpulannya adalah: korelasi tidak berarti kausalitas. Seringkali hubungan sebab akibat diterjemahkan terbalik (sebab menjadi akibat, seperti contoh di atas 👆). Dan terkadang dua kejadian yang terjadi bersamaan memang tidak berhubungan sama sekali.

Author: Paulinus Pandiangan

Saya seorang Katolik, anak ketiga dari 3 bersaudara, ayah dari tiga anak, orang Batak, saat ini bekerja di sebuah pabrik kelapa sawit di Kalimantan Tengah. Saya dilahirkan pada 8 Januari 1983. Capricorn.

Click to listen highlighted text!