Selamat datang di blog Paulinus Pandiangan. Semoga kamu menemukan sesuatu yang berguna.   Click to listen highlighted text! Selamat datang di blog Paulinus Pandiangan. Semoga kamu menemukan sesuatu yang berguna.

Mengapa Fakta Tak Mengubah Perilaku?

Di situasi pandemi saat ini, saya tidak mengerti orang-orang yang masih saja percaya dengan teori-teori konspirasi seputar COVID-19 kendati fakta-fakta sudah terpampang di depan mata.

Saya pun tergelitik dengan (masih) banyaknya orang yang berada di barisan anti-vaxxer. Banyak yang tidak mau divaksin dengan berbagai alasan yang juga jelas-jelas tidak bisa diterima akal sehat.

Why?

Mengapa fakta tidak mengubah perilaku?

Satu aspek menarik pun saya temukan, dan itulah mengapa postingan ini akhirnya terbit.


Sebagai disclaimer, ide dalam tulisan ini saya sarikan dari sebuah postingan blog lain di Why Facts Don’t Change Our Minds (jamesclear.com). Silakan membaca artikel aslinya untuk mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif.

Kembali ke pertanyaan di awal. Mengapa fakta tidak mengubah perilaku? Mengapa orang tetap memilih untuk percaya pada ide atau informasi yang keliru?

Ternyata karena orang cenderung memilih pertemanan ketimbang fakta.

Koneksi sosial dalam banyak situasi sering lebih mempermudah hidup dibandingkan kebenaran dari sebuah fakta atau ide. Dalam buku Atomic Habits yang ditulis oleh James Clear ditulis,

“Humans are herd animals. We want to fit in, to bond with others, and to earn the respect and approval of our peers. Such inclinations are essential to our survival. For most of our evolutionary history, our ancestors lived in tribes. Becoming separated from the tribe—or worse, being cast out—was a death sentence.”

Manusia hidup secara berkelompok sejak dahulu kala. Pengalaman terpisah atau diasingkan dari kelompok tertentu merupakan pengalaman yang tidak menyenangkan, sulit diterima, bahkan dianggap setara dengan hukuman mati. Keinginan untuk diterima dalam kelompok inilah yang sejak dulu tertanam kuat dalam insting kita.

Kita ingin diterima dalam lingkar sosial, dan karena itu, kita lebih memilih pertemanan dibanding kebenaran suatu fakta. Keinginan ini akan memicu orang untuk (bahkan) memilih untuk meyakini suatu ide yang keliru asalkan diterima dalam kelompok. Biar keliru asal banyak teman (hampir) selalu lebih dipilih daripada benar tapi sendirian.

Seorang A yang berada di kelompok yang meyakini bahwa di dalam vaksin ada chip 🤦‍♂️, misalnya, akan berbeda sikap dari B yang berada di dalam lingkar sosial yang meyakini bahwa mengikuti program vaksinasi merupakan bentuk partipasi membantu masyarakat dan pemerintah memerangi pandemi COVID-19.

Biar keliru asal banyak teman (hampir) selalu lebih dipilih daripada benar tapi sendirian.

Dengan kata lain, kita tidak selalu meyakini sesuatu karena kebenarannya. Terkadang kita memilih meyakini sesuatu agar kita terlihat bagus di depan orang-orang yang memiliki nilai penting dalam hidup kita. Kita cenderung memilih meyakini sesuatu yang diyakini kelompok.

Dan inilah yang nampaknya bisa (sebagian) menjelaskan mengapa banyak orang yang memilih untuk percaya hoax ketimbang fakta: They deeply desire to belong.

Psikolog Harvard Steven Pinker menyatakan ide ini sebagai berikut,

“People are embraced or condemned according to their beliefs, so one function of the mind may be to hold beliefs that bring the belief-holder the greatest number of allies, protectors, or disciples, rather than beliefs that are most likely to be true.”

Steven Pinker dalam Language, Cognition, and Human Nature

Menurutnya, keyakinan seseorang bisa membuatnya diterima atau ditolak dalam kelompok sosial. Orang cenderung akan memilih keyakinan yang membuatnya memiliki lebih banyak teman dan pelindung, ketimbang memilih keyakinan lain yang lebih benar.

Jadi tampaknya penerimaan sosial inilah yang menjadi driving force orang untuk bersikap. Orang bisa menyadari bahwa pilihannya salah, tetapi akan tetap memilih untuk diterima secara sosial. Pendekatan ini sering disebut dengan istilah: factually false, but socially accurate.

It applies to our ancestors, and it applies to us today just the same way.

Maka untuk hal ini tampaknya ada benarnya apa yang dinyatakan oleh Aristoteles,

“Man is by nature a social animal; an individual who is unsocial naturally and not accidentally is either beneath our notice or more than human. Society is something that precedes the individual.”

Aristoteles

Baca juga tulisan saya tentang hasrat mimetik, sebuah fenomena perilaku manusia di postingan ini. 😉

Regards,

Paulinus Pandiangan

Author: Paulinus Pandiangan

Saya seorang Katolik, anak ketiga dari 3 bersaudara, ayah dari tiga anak, orang Batak, saat ini bekerja di sebuah pabrik kelapa sawit di Kalimantan Tengah. Saya dilahirkan pada 8 Januari 1983. Capricorn.

Click to listen highlighted text!