Selamat datang di blog Paulinus Pandiangan. Semoga kamu menemukan sesuatu yang berguna.   Click to listen highlighted text! Selamat datang di blog Paulinus Pandiangan. Semoga kamu menemukan sesuatu yang berguna.

Stoikisme dan Minimalisme


Apabila kita menggambarkan diagram Venn dari stoikisme dan minimalisme, kira-kira apa irisan keduanya?

Saya kira kata kuncinya adalah penyederhanaan. Simplification.

Kalau kita berusaha memahami esensi masing-masing, keduanya menawarkan kebebasan. Kebebasan dari noise. Freedom from all the non-essentials.

Seneca pernah mengatakan bahwa untuk benda-benda yang gratis sekali pun, tetap ada biayanya: tempat (space). Semua benda membutuhkan tempat. Apabila hidupmu dipenuhi dengan terlalu banyak barang, barang-barang itu akan menyita banyak tempat juga, yang pada akhirnya akan menyita pikiranmu pula. Benar? 😉


Perhatikan gambar sederhana di atas. Semakin kaya seseorang, semakin sedikit keinginannya. Kaya adalah perihal kemampuan mengenali keinginan yang sesungguhnya. Kaya adalah keadaan tidak terdistraksi pada begitu banyak hal; mengenali dan bisa mengesampingkan noises.

Kita bisa belajar dari awan. Ketika sudah jenuh dengan kandungan uap air, dia akan ‘membuang’ segala yang melebihi kecukupannya. Dan turunlah hujan, dan langit pun bisa cerah kembali setelahnya.

Kita pun bisa membuat kehidupan kita cerah dengan selalu cukup. Seperti kata Epictetus,

“Curb your desire. Don’t set your heart on so many things and you will get what you need.” 

Penyederhanaan yang ditawarkan minimalisme akan membebaskanmu dari ragam persoalan terkait clutter ini. Kelebihan (excess) selalu akan menjadi masalah, sampai kamu mampu mendefinisikan seberapa banyak yang cukup.

Untuk stoikisme pun sama.

Dengan memahami prinsip dikotomi kendali kamu akan mengerti bahwa segala emosi negatif muncul dari pikiranmu sendiri; dari bagaimana engkau memproses setiap peristiwa secara mental. Semuanya tentang bagaimana engkau ‘menceritakan’ setiap peristiwa pada dirimu sendiri.

Dari narasimu muncullah reaksi pikiran, dan lahirlah emosi setelahnya.

Jika kamu cermat, kamu bisa ‘mengaudit’ pikiranmu sendiri dan menemukan kekeliruan berpikir yang membuatmu merasakan emosi negatif. Quite cool, right?

Lagi-lagi penyederhanaan. Penyederhanaan yang memerdekakan.

Dengan stoikisme kamu juga bisa melatih dirimu untuk mampu melihat masalahmu dari kejauhan. Dengan menyadari kompleksitas dunia kamu bisa menyadari bahwa persoalan-persoalanmu barangkali tidak sebesar yang kamu pikirkan. Kamu akan lebih mudah ‘berdamai’ dengan persoalanmu dan selanjutnya bisa lebih mudah mengendalikan reaksimu terhadap persoalan itu.

Kamu akan berfokus membentuk karakter dirimu yang baik, tanpa terpengaruh label dan stereotip, karena kamu tahu, semua itu di luar kendalimu dan label tidak menyatakan kebenaran yang seutuhnya. Label does not tell the whole story, and it never does.

Hidupmu akan jauh lebih sederhana, bukan? Kebebasan akan engkau rasakan.

Kamu akan terlatih membuat pilihan-pilihan yang menggerakkan hidupmu ke arah yang lebih baik. Stoikisme akan mengajarimu membuat pilihan-pilihan yang bijak.

Akhirnya kamu akan menyadari bahwa minimalisme dan stoikisme itu berteman baik. Kamu akan terbantu untuk menyederhanakan hidupmu; membantu berfokus pada hal-hal yang bernilai, yang penting.

And that’s why I am learning both.

Salam,

Paulinus Pandiangan

Author: Paulinus Pandiangan

Saya seorang Katolik, anak ketiga dari 3 bersaudara, ayah dari tiga anak, orang Batak, saat ini bekerja di sebuah pabrik kelapa sawit di Kalimantan Tengah. Saya dilahirkan pada 8 Januari 1983. Capricorn.

Click to listen highlighted text!