Selamat datang di blog Paulinus Pandiangan. Semoga kamu menemukan sesuatu yang berguna.   Click to listen highlighted text! Selamat datang di blog Paulinus Pandiangan. Semoga kamu menemukan sesuatu yang berguna.

You Alone Are Enough

Ungkapan Bijak Maya Angelou

Kalimat bijaksana di atas sudah pernah saya baca sebelumnya, tapi rasanya akhir-akhir ini saya semakin menyadari bahwa kalimat ini sangat berkaitan dengan ego.

Ya, ego. Sesuatu yang tak akan pernah lepas dari isu kehidupan manusia.

Bagaimana penalarannya sehingga saya sampai pada kesimpulan itu?

Mari kita perhatikan kalimat kedua: You have nothing to prove to anybody. Saya sengaja memberikan penekanan pada kata prove. Dalam terjemahan bahasa Indonesianya kata ini bisa diartikan “membuktikan“. Kita tidak perlu membuktikan apa pun kepada siapa pun.

Yang dimaksudkan pada kalimat kedua itu adalah kita tidak perlu membuktikan apa pun kepada siapa pun untuk mendapatkan validasi. External validation. Kita tidak perlu membuktikan sesuatu jika motivasinya adalah agar kita dinilai sesuai dengan yang kita inginkan, agar suatu label (pada akhirnya) ditempelkan kepada kita, dan dengan itu kita berharap kualitas diri kita akhirnya tervalidasi.

And label, as we all know it, is just a label. It does not tell the whole story, and we are not our labels.

We are more than just a label.

Dan semua keinginan untuk mendapatkan validasi dari luar ini berakar dari ego. Ego adalah si “cerita di dalam kepala” yang selalu berusaha ingin membuat kita terlihat stand out, lebih dari yang lain. Dan jangan salah, ego juga bisa “menempatkan” diri kita seolah-olah menjadi “korban” dari suatu situasi. Pihak yang terzolimi pada kondisi-kondisi yang dirasanya tepat, dalam bentuk narasi-narasi negatif yang sangat toksik, dan semuanya beredar di kepala kita.

Truth be told, it is (just) the story crafted in our head.

Narasi-narasi ini — yang jika tidak dikenali dengan baik sebagai manifestasi ego — pada akhirnya menuntut kita untuk membuktikan sesuatu agar mendapat validasi dari luar.

Dan di titik inilah, kebijaksanaan dibutuhkan.

Sebagaimana ajaran filsafat Stoa, kita harus bisa mengaudit pikiran kita sendiri: melihat pemikiran kita sendiri memunculkan narasi-narasi sebagai reaksi atas berbagai pengalaman dalam hidup kita setiap hari, dan menyadari bahwa narasi-narasi itu adalah aksi kreatif dari ego kita sendiri. Kebenaran yang sesungguhnya seringkali tidak saling bersesuaian dengan narasi-narasi yang berkembang di kepala kita.

Dan sampai pada titik ini, kita akhirnya bisa “melihat” bagaimana benarnya kalimat bijak dari Maya Angelou di atas.

Kita tidak pernah membutuhkan validasi eksternal yang menjelaskan bagaimana kita yang sebenarnya. Kita adalah sebagaimana kita yang sebenar-benarnya. Jika kita memang berkarakter baik, kita adalah orang yang berkarakter baik, terlepas dari label apa pun yang dilekatkan pada kita.

Dan itu cukup. You are enough. You have nothing to prove to anybody.

It’s that simple.

Si ego — lah yang selalu berusaha membuat segalanya terlihat menjadi rumit.

😉

Author: Paulinus Pandiangan

Saya seorang Katolik, anak ketiga dari 3 bersaudara, ayah dari tiga anak, orang Batak, saat ini bekerja di sebuah pabrik kelapa sawit di Kalimantan Tengah. Saya dilahirkan pada 8 Januari 1983. Capricorn.

Click to listen highlighted text!