Selamat datang di blog Paulinus Pandiangan. Semoga kamu menemukan sesuatu yang berguna.   Click to listen highlighted text! Selamat datang di blog Paulinus Pandiangan. Semoga kamu menemukan sesuatu yang berguna.

One Day I’ll Leave …

Bahwa suatu hari kita akan meninggalkan tempat, suasana, orang-orang, dan bahkan kehidupan di dunia ini adalah fakta kehidupan. Sooner or later, it would come. Setiap orang tahu dan menyadari fakta kehidupan ini.

You are where you need to be. Setiap orang berada pada tempat yang tepat. Tempat yang dimaksud di sini bisa saja tempat fisik yang ada di dunia ini, atau suatu tempat di luar dari apa yang dapat kita pahami dengan indera kita. Ketika hari ini saya berada di Kalimantan Tengah, akan tiba masanya saya harus beranjak dan meninggalkan tempat ini. One day, for certain, it would happen.

Maka menjadi penting menghargai setiap momen di mana pun kita berada. Harta yang diberikan secara merata kepada setiap orang adalah waktu, seberapa panjang atau seberapa singkat pun itu. Ketika hari ini saya masih di sini, saya ingin agar hari ini menjadi hari yang baik di tempat ini, dan saya akan berusaha agar kehadiran saya di tempat ini, pada hari ini, menjadi kehadiran yang membawa kebaikan, dan kehadiran di mana saya pun bisa mengalami kebaikan Tuhan, melalui pengalaman sepanjang hari ini.

Menentukan Tujuan ala Stoik

Berikut tiga strategi stoik dalam menentukan tujuan, sebagaimana disarikan dari artikel di laman Daily Stoic ini.

[1] Menentukan tujuan yang di bawah kendali kita.

Tugas utama seorang manusia dalam hidupnya, menurut Epictetus, adalah memahami apa yang di bawah kendalinya dan apa yang di luar kendalinya. Sebagai contoh, kesuksesan. Kesuksesan adalah tujuan banyak orang, dan banyak yang tidak menyadari bahwa kesuksesan adalah sesuatu yang tidak berada di bawah kendali kita sepenuhnya. Menjadikan kesuksesan sebagai tujuan hanya akan menimbulkan ketidakbahagiaan, karena ada begitu banyak faktor yang mempengaruhinya, faktor-faktor yang berada di luar kendali kita.

Lalu kalau bukan kesuksesan, apa tujuan yang seharusnya?

Yang lebih rasional adalah mengerahkan kemampuan terbaik saat mengerjakan sesuatu. Mark Manson, seorang penulis, pernah mengatakan bahwa dia tidak pernah menargetkan bahwa bukunya akan sukses di pasaran. Yang menjadi tujuannya adalah berupaya menulis buku yang lebih baik dari buku yang sebelumnya, dengan segala upaya terbaik yang bisa dilakukan.

Itulah yang dimaksud dengan menentukan tujuan yang di bawah kendali kita.

Ilustrasi Menetapkan Tujuan | Sumber

[ 2 ] Tidak membuat terlalu banyak tujuan.

Tujuan yang terlalu banyak dalam satu waktu bisa melumpuhkan. Kita akan kesulitan dalam membuat prioritas. Melakukan 3 hal dengan nilai A jauh lebih baik dibandingkan dengan melakukan 5 hal dengan nilai B, atau bahkan C. Maka sangat penting untuk mengkaji sebuah tujuan yang sudah ditetapkan: apakah ia benar-benar penting?

Dengan ‘memangkas’ tujuan-tujuan yang tidak esensial dari daftar panjang tujuan-tujuan yang ingin dicapai, kita akan hidup lebih seimbang dan dengan demikian memperbesar peluang kita untuk sukses dalam tujuan-tujuan yang lebih penting.

[ 3 ] Memastikan tujuan tersebut benar-benar tujuan kita sendiri.

Saya pernah menyinggung tentang hasrat mimetik di sebuah tulisan lama. Ide dasarnya adalah bahwa banyak dari keinginan kita muncul akibat meniru keinginan atau hasrat orang lain. Inilah yang perlu dicermati dalam menentukan tujuan: apakah tujuan ini benar-benar sesuatu yang penting bagi kita, atau hanya sesuatu yang mengikuti tujuan orang lain?

Juga, kita perlu mengarahkan tujuan bukan pada hal-hal eksternal, seperti tujuan untuk mendapatkan pengakuan atau penghargaan. Tujuan yang benar adalah tujuan untuk memperbaiki diri dari waktu ke waktu; sehingga kompetitornya bukanlah orang lain, melainkan diri sendiri. Berkompetisi dengan diri sendiri yang dimaksud di sini adalah berusaha untuk terus memperbaiki diri dari dalam, layaknya seorang atlet yang terus berusaha memperbaiki rekor yang diciptakannya sendiri.


Saya hanya ingin menutup tulisan ini dengan quote berikut,

Perihal Kematian

Membicarakan kematian memang tidak nyaman, akan tetapi memang tidak bisa dihindari. Kita semua tahu bahwa setiap kehidupan berpasangan dengan kematian, dan kematian adalah fakta yang pasti akan dialami semua orang. Berikut beberapa quotes tentang kematian dari buku Leo Tolstoy berjudul A Calendar of Wisdom yang ditulis untuk bacaan 7 November. Semoga quotes berikut bisa memperkaya perspektif kita tentang kematian itu sendiri. Dalam filsafat Stoikisme pun, bermeditasi tentang kematian (memento mori) merupakan suatu praktik yang dianjurkan untuk membantu kita ‘melihat’ apa yang benar-benar penting dalam hidup.

Anda bisa memandang kematian sebagai kematian, dan kematian sebagai kebangkitan. Saya mati sebelum saya dilahirkan, dan di saat kematian aku akan kembali pada keadaan yang sama.

George Lichtenberg

Saya tidak pernah menyesal dilahirkan dan menghabiskan sebagian hidupku di dunia ini, karena aku percaya hidupku bermanfaat. Saat akhirnya tiba, aku akan meninggalkan kehidupanku dengan cara yang sama seperti ketika aku meninggalkan penginapan yang bukan rumahku, karena aku menyadari bahwa kehidupanku di dunia ini sifatnya sementara dan kematian hanyalah suatu proses berpindah ke keadaan yang berbeda.

Marcus Tullius Cicero

Kalaupun keyakinanku bahwa jiwa akan tetap abadi adalah keliru, aku akan bahagia dengan kekeliruan itu, karena selama aku hidup di dunia tak ada seorangpun yang bisa mengambil keyakinan itu dariku, sesuatu yang memberiku ketenangan dan kepuasan yang luar biasa.

Marcus Tullius Cicero

Memaafkan Diri

Saya menemukan paragraf kecil yang powerful di buku The Comfort Book karya Matt Haig sore ini, dan berikut ini teksnya:

Imagine forgiving yourself completely. The goals you didn’t reach. The mistakes you made. Instead of locking those flaws inside to define and repeat yourself, imagine letting your past float through your present and away like air through a window, freshening a room. Imagine that.

Room, dari The Comfort Book

Paragraf ini menarik karena menegaskan bahwa, sepanjang kita bisa berdamai dengan kesalahan di masa lalu dan memaafkan diri kita atas kesalahan-kesalahan kita tersebut, kita tetap mempunyai pilihan untuk memulai lagi hidup baru; membuka lembaran baru setiap saat, entah usia berapa pun kita dan di fase apa pun kehidupan kita saat ini.

Ilustrasi Memaafkan Diri | Sumber

All it takes is our forgiving of ourselves, accepting our faults as part of our journey but are separate from our true self. 🥰

Kebahagiaan di Dalam Diri

Kebahagiaan seringkali kita anggap akan dicapai dari hal-hal di luar diri kita, seperti pasangan yang serasi, berat badan ideal, pekerjaan impian, kota tempat tinggal yang diidamkan, dan lain sebagainya. Kita berpikir bahwa kalau kita bisa mendapatkan hal-hal ini, maka kita akan bahagia. Model IF… THEN… (Jika saya membeli mobil baru, maka saya akan bahagia. Apabila saya mendapatkan pekerjaan dengan gaji 50 juta sebulan, saya akan bahagia, dan seterusnya …)

Psikolog Kennon Sheldon dan Sonja Lyubomirsky lalu menemukan prinsip “adaptasi hedonis”, dimana ketika kita misalnya menang undian dan mendapat hadiah, kita akan merasa senang untuk beberapa saat, akan tetapi kemudian kita akan terbiasa dengan keadaan tersebut, dan level kebahagiaan kita kembali ke dasar (baseline).

Maka jelas bahwa kebahagiaan tidak diperoleh dari hal-hal di luar diri kita.

Lalu bagaimana agar kita bisa lebih bahagia, saat ini?

  • Berdamai dengan segala kekurangan diri dan izinkan diri kita untuk menjadi tak sempurna.
  • Kalau kita tak sempurna, kita juga harus memaklumi bahwa orang lain juga tak sempurna. Harus ada ruang untuk ketidaksempurnaan (room for imperfection) bagi diri kita sendiri dan juga orang lain.
  • Lepaskan ekspektasi yang berlebihan tentang bagaimana perjalanan hidup kita seharusnya. Bagaimana hidup kita berjalan adalah suatu hal yang di luar kendali kita sepenuhnya, dan ada banyak sekali faktor yang mempengaruhinya.
  • Hentikan kebiasaan berandai-andai tentang masa lalu dan masa depan. Apresiasi dan syukurilah hal-hal baik dalam hidup kita saat ini.
  • Tetap coba hal-hal baru agar hidup kita tetap terasa menarik. Proses belajar hal baru bisa menimbulkan kebahagiaan yang lebih bertahan lama.

Saya percaya bahwa kebahagiaan adalah efek samping dari pilihan-pilihan kita setiap hari dan pada prinsipnya kebahagiaan adalah hadiah (gift); sehingga mengejar kebahagiaan sebagai sebuah tujuan akhir hanya akan menjauhkan kita dari kebahagiaan itu sendiri. Agreed? 😉

Taste It Before You Spit It

Salah satu cara yang bisa dipakai untuk melatih kita menggunakan kata-kata yang positif adalah dengan slogan di atas, taste it before you spit it; artinya sebelum mengatakan sesuatu, kita terlebih dahulu melakukan visualisasi apakah kata-kata yang akan digunakan sudah terdengar positif di telinga kita, dan kalau ternyata belum kita sebaiknya menggantinya dengan kata-kata lain atau tidak mengucapkan kata tersebut sama sekali. Ini sangat penting karena kata-kata yang sudah diucapkan tidak lagi menjadi milik kita; sama seperti setelah kita meludah, apa yang keluar sudah tidak bisa ditarik lagi. Berhati-hati dalam berbicara adalah kemampuan penting yang dimiliki orang-orang yang cenderung positif.

Kata-kata yang kita ucapkan sangat berpotensi melukai hati orang lain, apalagi ketika kita sedang emosional, misalnya saat berada di tengah sebuah konflik. Situasi seperti ini memang tidak mudah dihadapi, dan dibutuhkan kemampuan yang baik untuk mengelola emosi. Emosi yang tidak terkendali biasanya berlanjut dengan keluarnya kata-kata yang melukai relasi dan meninggalkan luka di hati orang lain.

And once they are said, they can not be unsaid. Kata-kata yang sudah terucap tak akan bisa ditarik lagi dan, meskipun bisa dimaafkan, tetapi tetap akan selalu diingat oleh orang lain sebagai sebuah memori yang buruk, dan kata-kata yang buruk akan menimbulkan jarak antara dua pihak; suasana relasinya pasti tidak akan sama lagi.

Bahkan ada yang mengatakan bahwa lidah kita ibarat pisau tajam yang bisa membunuh tanpa mengucurkan darah. Sebegitu besarnya kekuatan kata-kata yang terucap dari bibir kita: bisa menjadi pendorong yang meneguhkan semangat, akan tetapi juga bisa menjadi perongrong semangat tanpa wujud. Pesannya jelas: pikirkanlah dengan baik sebelum berkata-kata, karena kata-kata yang buruk hanya melahirkan penyesalan dan merusak kedamaian. ❤️

No Such Thing as Pain-Free

Bacaan singkat pagi ini dari buku A Calendar of Wisdom-nya Leo Tolstoy semakin meyakinkan saya bahwa memang penderitaan dan sukacita, sebagaimana emosi manusia, berada dalam spektrum yang sama; sehingga tidak mungkin menjalani kehidupan tanpa mengalami penderitaan. Penderitaan dan sukacita go hand in hand, mereka ada secara bersama dan saling melengkapi, ibarat siang dan malam. Tak ada sukacita tanpa penderitaan sebagaimana tak ada siang tanpa ada malam.

Berikut beberapa quotes yang menarik dari bacaan hari ini:

Pain is the necessary condition of our body, and suffering is the necessary condition of our spiritual life, from birth to death.

Marcus Aurelius

Dengan kata lain, rasa sakit adalah kondisi yang dibutuhkan tubuh fisik kita, dan penderitaan adalah kondisi yang dibutuhkan dalam kehidupan rohani kita. Tanpa rasa sakit dan penderitaan, kehidupan fisik dan spiritual kita tidak akan pernah menemukan kepenuhan.

Kutipan lain tak kalah menarik,

You should welcome everything which happens to you from birth to death, because the existence and the purpose of the world is in these cases.

Marcus Aurelius

Ini sebenarnya melengkapi quote yang sebelumnya, dimana kita harus belajar menerima keadaanamor fatikarena hanya dengan demikianlah kita bisa merasakan kepenuhan hidup.

Only in the storm can you see the art of the real sailor; only on the battlefield can you see the bravery of a soldier. The courage of a simple person can be seen in how he copes with the difficult and dangerous situations in life.

Daniel Achinsky

Pengalaman yang buruk sekali pun tetap diperkenankan terjadi dalam hidup kita untuk tujuan yang baik, setidaknya itulah satu hal penting yang perlu dipahami.

Lagipula, Tuhan bisa menggunakan segalanyabaik atau burukuntuk kebaikan kita, bukan? 😉

Keren itu Pilihan Sikap

Masih tentang definisi sukses yang sesungguhnya, yang saya ulas di tulisan sebelumnya

Alexander Agung, sebuah nama yang dikenal banyak orang. Bahkan namanya diabadikan menjadi sebuah kota, Alexandria, di Mesir, padahal orangnya hidup pada sekitar 2.300 tahun sebelumnya. Untuk sekilas, tampaknya Alexander Agung ini cukup sukses dan kerenkalau kita menggunakan metriks sukses dari apa yang terlihat di luar saja, seperti yang saya bicarakan sebelumnya.

Tetapi bagi orang Stoik, tak ada yang keren dari Alexander Agung. Memangnya kita tahu nama kita tetap dikenang setelah meninggal? Pilihan-pilihan tindakan yang diambil Alexander semasa hidupnya juga (sangat) tidak keren. Dia suka berperang, dia mudah marah, dia bahkan membunuh teman sendiri dalam suatu perkelahian dalam keadaan mabuk. Dia menjadi budak dari ambisinya sendiri. Lalu apa yang perlu dibanggakan dari itu?

Maka saran dari para filsuf Stoikisme adalah: berfokuslah menjadi versi terbaik dirimu saat ini; lakukan apa yang baik dan benar. Tidak perlu risau dengan apa yang akan terjadi di masa depan. Yang bisa kita kendalikan adalah pilihan-pilihan tindakan saat ini.

Dalam Stoikisme, itulah keren yang sesungguhnya!

Apa Harus Marah?

Saya memperhatikan bahwa ada orang yang berlindung di balik kesempatan untuk mengucapkan permintaan maaf di saat hari-hari besar keagamaan-untuk pada akhirnya ‘membenarkan’ perilaku negatif yang terjadi sebelumnya. Kita ambil saja kasus marah-marah di tempat kerja.

Misalnya ada rekan kerja yang di hari kerja cenderung suka marah dan menyalahkan orang lain apabila ada masalah. Meledak dalam emosi dan membuat orang lain menjadi tidak nyaman dalam bekerja. Lalu tibalah hari raya keagamaan. Dengan mudahnya orang ini lalu memohon maaf dan menyatakan bahwa semua kemarahan sebelumnya adalah bagian dari pekerjaan dan tidak ada maksud-maksud subjektif untuk menyerang pribadi orang lain; berharap bahwa di hari raya tersebut semuanya menjadi bersih kembali, seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa sebelumnya.

Ilustrasi Orang Marah

But life does not work that way. Untuk orang yang dimarahi, pasti dia mempunyai memori yang buruk yang sudah terekam di otaknya.

Mengapa orang tidak berusaha memperbaiki dirinya dalam hal mengelola emosi dengan baik, sehingga tidak perlu selalu marah-marah? Saya berpendapat, bahkan kalau apa yang disampaikan itu benar adanya, tetapi dengan nada tinggi dan marah, kesannya menjadi kurang profesional. Bukankah segalanya sebenarnya bisa didiskusikan dengan baik tanpa harus selalu diwarnai dengan kemarahan dan nada suara tinggi?

Inilah soft-skill, kemampuan mendasar yang tidak banyak dimiliki orang menurut saya, dan inilah skill yang justru sangat penting untuk dilatih, apabila kita ingin menjadi orang-orang yang sungguh profesional.

Dalam Stoikisme, emosi negatif itu muncul dari penalaran yang keliru atau tidak utuh. Ketika kita ingin marah, misalnya, yang harus diperbaiki dan ditinjau ulang sebenarnya adalah narasi yang ada di kepala kita, tentang bagaimana kita mempersepsikan apa yang sedang terjadi. Ketika narasi ini begitu negatif atau tak utuh, tentu saja emosi yang ditimbulkan adalah emosi-emosi yang sangat negatif, dan lalu menjadi begitu masuk akal rasanya untuk marah. Ketika orang marah, dia merasa bahwa apa yang dilakukannya benar, tetapi penyesalan biasanya pasti akan menghampiri setelahnya, dan orang yang marah ini sebenarnya menyadari bahwa kemarahannya seringkali berlebihan, tetapi karena malu mengakui, maka orang-orang ini biasanya akan mencoba ‘berlindung’ di balik momen-momen khusus untuk ‘menyelipkan’ permintaan maafnya, agar tetap terlihat profesional, dan mengatakan bahwa kemarahan sebelumnya hanya untuk tujuan pekerjaan dan tidak ada subjektivitas terhadap orang tertentu.

For me, it’s disgusting! Menjijikkan. Sebenarnya ada space, ada ruang bagi kita, ketika menerima rangsangan (impulse) sebelum memberikan tanggapan (response). Di ruang inilah dimana kita harus menggunakan nalar (reasoning) untuk mempersepsikan dengan baik apa yang sedang terjadi, dan dari sini selanjutnya kita bisa bereaksi dengan emosi yang lebih baik. Jadi ketika ada orang yang mudah dan cepat sekali marah, sebenarnya ada masalah dengan kemampuannya menggunakan nalar dengan baik dan dia (sebenarnya) harus memperbaiki kebiasaan (habit) nya sendiri: kebiasaan untuk cepat marah. Orang yang mudah dan cepat marah sebenarnya adalah orang yang MEMBIASAKAN DIRINYA untuk mudah dan cepat marah. Karena sering dilatih sehingga menjadi kebiasaan, orang yang seperti ini biasanya akan semakin cekatan lagi untuk marah. Tubuhnya sudah semakin terlatih untuk marah dan dengan sedikit rangsangan saja, tubuh yang sama akan langsung dengan cepat beralih ke fight mode (mode tempur).

Akan lebih mengesankan apabila orang melatih dirinya untuk bisa mengelola emosi dengan baik, sehingga dalam interaksinya sehari-hari dia tetap bisa mengutarakan berbagai hal tanpa harus dengan emosi yang berlebihan, karena toh, tujuannya adalah tetap mencapai sesuatu. Kalau sesuatu itu bisa dicapai tanpa harus marah-marah, misalnya, walaupun membutuhkan waktu yang lebih lama, lalu mengapa harus menggunakan energi untuk marah?

I mean, you might end up getting the same exact thing, so why angry?

Terkadang Kita Harus Memilih

Saya baru saja membaca sebuah artikel yang menarik di laman blog Becoming Minimalist yang ditulis oleh Joshua Becker. Topiknya adalah tentang memilih.

Ada keinginan-keinginan dalam hidup yang bisa dikejar secara bersamaan, misalnya ingin sukses dalam pekerjaan dan memiliki waktu yang cukup bersama keluarga. Ini tentu bisa diupayakan walaupun, tentu saja, tidak mudah.

Akan tetapi, ada banyak keinginan atau harapan yang tidak boleh terwujud bersamaan, kita harus memilih salah satu saja. Misalnya keinginan untuk tetap bugar dan keinginan untuk tidak harus lelah berolahraga. Ini adalah dua keinginan yang tentu saja tak bisa beriringan. Kita harus memilih salah satu: ingin bugar atau tidak berolahraga. Kalau ingin bugar, tentu harus berolahraga.

Contoh lain misalnya keinginan untuk memiliki banyak waktu bersama keluarga dan di saat yang sama ingin mengikuti banyak kegiatan di luar rumah. Ini juga tentu mengharuskan kita untuk memilih salah satu saja: ingin fokus memiliki banyak waktu bersama keluarga atau aktif mengikuti berbagai kegiatan di luar rumah. Kalau kita ternyata memilih untuk memiliki banyak waktu di rumah, tentu kita harus berkorban dalam hal mengikuti berbagai kegiatan di luar rumah. Kita harus membuat prioritas: hal mana yang ingin didahulukan, dan mana yang bisa dikorbankan.

Gambar diambil dari https://www.kevinmd.com/wp-content/uploads/shutterstock_253531033.jpg.

Atau keinginan untuk bisa menulis sebuah buku sampai selesai dan keinginan untuk menonton TV setiap malam. Ini juga tentu akan sulit dicapai keduanya secara bersamaan. Kalau kita ingin bisa menuntaskan buku, tentu waktu untuk menonton TV bisa dikorbankan agar keinginan menuntaskan buku tadi bisa tercapai.

Dan begitulah pada akhirnya kita memutuskan apa-apa saja yang ingin kita lakukan dalam hidup. Terkadang ada 2 keinginan yang bisa sama-sama diwujudkan secara beriringan, akan tetapi seringkali juga kita harus memilih.

Dan itulah yang menjadi ide utama dari tulisan di blog Becoming Minimalist yang saya baca sore ini. Silakan membaca versi aslinya di alamat ini bagi teman-teman yang tertarik.

Semoga (saja) tulisan singkat ini bermanfaat! 🙂

Click to listen highlighted text!